Padahal kamu tahu kata ini adalah kata yang paling aku hindari namun begitu mudah keluar dari mulutmu, merobohkan seluruh kepercayaanku terhadapmu. Sebenarnya segala yang kita jalani selama ini adalah apa? Katamu mencintaiku adalah komitmen seumur hidup, nyatanya satu kalimat bisa mengubah semuanya.
Mataku masih menatapmu tajam, berharap ada satu kalimat lagi yang muncul dari mulutmu setidaknya kalimat penjelasan atau kalimat pembelaan agar aku setuju dengan keputusanmu. Satu detik, dua detik, tiga detik, kamu masih diam seperti batu karang yang tersapu ombak, bahkan sedari tadi wajahmu enggan mengarah kepadaku.
Genggaman tanganku perlahan memudar, kutundukkan pandang bersama keluarnya air mata. Kakiku mundur selangkah, memberi jarak dan mengaku bahwa kamu bukan lagi seseorang yang kukenal. Ya entah dimulai sejak abad keberapa? Tetapi kata putus selalu menjadi jeda sebuah hubungan. Dia paling bisa membuat sekat tak kasat mata yang akhirnya membuat dua orang yang pernah begitu hangat menjadi sedingin kutub.
Kuseka air mataku lalu aku melihatmu lagi yang masih tetap tak bergeming. “Dav, aku tidak pernah tahu apa yang telah kuperbuat sehingga membuatmu menyerah dengan hubungan ini. Jika memang alasanmu adalah karena aku membosankan aku benar-benar minta maaf. Dari awal aku sudah pernah memberitahumu, gadis kaku sepertiku tidak akan pernah bisa membuatmu tertawa sepanjang hari. Tapi kamu selalu berdalih bahwa aku tak perlu menjadi siapapun untuk menyenangkanmu, cukup jadi diriku sendiri dan kamu akan tetap mencintaiku. Kalimat itu yang membuatku percaya Dav. Dan sekarang……”
Sungguh dadaku terasa begitu sesak seperti terhimpit benda yang tak bisa membuatku bernafas. Aku mencoba menarik nafas untuk menenangkan namun tetap saja kebencian yang kupendam dalam-dalam tiba-tiba menyeruak. Aku ingin menjerit, aku ingin mengelak, dan aku ingin menolak. Seandainya bisa, seandainya aku mampu sudah kubuat takdir hidupku sendirian.
Mengapa? Satu kata tanya yang masih memenuhi ruang pikiranku. Sampai detik ini aku tidak tahu apa yang membuatmumengakhiri hubungan yang sudah berjalan dua tahun lamanya. Dua tahun yang mengubah pandanganku terhadap bumi yang aku tinggali, dua tahun yang membawaku kepada kebetulan-kebetulan yang menyenangkan, dua tahun yang kuhabiskan waktu luangku hanya bersamamu, dua tahun yang kugunakan untuk menabung demi satu tujuanku bersamamu yaitu pelabuhan yang sama. Dua tahun yang……
Aku bahkan tak bisa melanjutkan kalimatku karena saking berharganya dua tahun terakhir ini sampai akhirnya beberapa detik yang lalu kamu memilih mengakhiri semuanya.
Biasanya setiap kali aku menangis tanganmu sesegera mungkin mengusap pundakku, mengatakan kalimat paling tenang yang pernah kudengar dan akan berujung dengan aku tertidur di pelukanmu. Rasanya aku menjadi wanita paling beruntung karena memilikimu, karena aku tahu tidak semua kekasih bisa berlaku hangat dengan pasangannya.
Sekarang bahkan aku hanya bisa tertawa getir menyadari kalau aku mungkin tidak akan pernah diizinkan berada di posisi itu lagi.
“Sa.” Panggilmu, bahkan walaupun terdengar begitu dingin namun hatiku masih tetap berdebar mendengarnya. Panggilan darimu selalu memunculkan satu harapan, dan aku berharap masih ada kesempatan.
Aku mendongak, mata kita akhirnya beradu lagi. Namun tatapan itu tidak lagi seakrab dulu, tatapan itu terasa begitu asing seakan-akan membuat siapapun yang melihatnya enggan berlama-lama.
Masih kuingat caramu mengajakku berkenalan lewat sebuah surat yang kamu titipkan adik sepupumu yang adalah teman sekelasku. Isinya membuatku kebingungan dan berakhir kuselipkan di saku seragam sekolahku.
Untuk Antariksa,
Sa, izinkan aku menjadi salah satu planet yang menghuni alam rayamu. Panggil saja aku planet Dava.
Aku yang tak pernah mengizinkan siapapun menghuni alam rayaku, akhirnya memberikanmu izin untuk menempatinya. Dengan adamu alam rayaku tak lagi dipenuhi dengan bintang-bintang yang berkelip sendirian, atau planet-planet yang membisu, tapi juga planet yang begitu ramai, terang, dan hidup. Jadi sekarang, apakah akan mudah bagiku membiarkanmu pergi?
“Ada kata yang tak bisa terucap dengan mudah, ada makna yang tak bisa terungkap dengan jelas. Segala yang pernah terjadi adalah takdir yang tak bisa aku ubah sendirian. Di detik ini aku harap kamu percaya Sa, apa yang kupilih adalah keputusan yang paling baik untuk kita. Antariksa.” Ucapmu di sela aku masih mengingat kenangan indah kita. Dua kejadian yang bertubrukan yang saling mengisi ruang pikiran. Satu ingin tak terima, tetapi satu lagi ingin belajar menerima.
Kamu berbalik dan memantapkan langkahmu pergi, punggungmu semakin jauh dari pandangan tapi tak pernah berhasil mengalihkan perhatian. Kalau masih boleh, aku ingin berlari dan memelukmu. Sayangnya aku tak lagi punya kuasa atasmu.
“Sa, ada Dinda. Bangun gih.” Sayup-sayup aku mendengar suara mama memanggilku, membangunkanku dari alam mimpi.
“Iya ma.” Teriakku, sebelum akhirnya bangun dan mencuci muka lalu menemui Dinda.
Dinda, dia adalah adik sepupu Dava, sudah hampir satu bulan lamanya setelah aku dan Dava putus tiada kabar lagi darinya. Dia seperti hilang, meledak di alam raya. Lagian selama itu pula aku tidak mencoba membuka akses untuk mengetahui apapun informasi tentang dia. Aku hanya berusaha mengikhlaskannya dengan caraku.
“Hai Din.” Sapaku ramah, biarpun aku tidak ada hubungan apapun lagi dengan Dava tapi bukan berarti aku juga putus hubungan dengan keluarga Dava.
Dinda melihatku dengan sayu, ia berusaha tersenyum namun bibirnya terasa begitu berat melakukannya. Hal itu membuatku bertanya-tanya, apakah Dinda sedang dalam masalah? Karena tidak biasanya ia terlihat murung. Aku segera mendekat. Kupandangi Dinda yang menundukkan pandang, tangannya saling meremas seakan ada hal yang ingin disampaikannya namun ia ragu akankah ia sampaikan atau tidak.
Aku memegang tangannya, memberi rasa hangat supaya Dinda bisa tenang. “Jika ada yang ingin kamu katakan, apapun itu aku akan mendengarnya Din.”
Dinda memberanikan diri melihatku. Saat itu aku sedikit terkejut mendapati kantung matanya yang menghitam, seolah menjadi bukti kalau jam tidurnya berantakan.
“Sa.” Ucapnya lirih.
“Ya.”
Dinda tiba-tiba mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Iamencari sesuatu di sana sampai akhirnya sebuah amplop berwarna hitam keluar dari sana. Dinda langsung memberikan itu kepadaku. Amplop ini adalah amplop yang sama yang pernah Dinda kasih tiga tahun yang lalu. Aku langsung mengetahui siapa yang mengirim Dinda ke sini.
Aku hanya melihatnya bukan karena enggan menerimanya tapi lebih ke apakah aku akan siap mendengar jawaban yang selama satu bulan ini aku nanti? Haha, ternyata aku masih menantinya. Sia-sia usahaku melupakannya karena pada akhirnya hati ini jatuh masih untuk orang yang sama.
“Maaf Din, tapi aku….”
“Sa, aku mohon. Untuk yang terakhir kalinya. Beri Dava kesempatan untuk menjelaskan.”
Untuk Antariksa,
Si gadis kaku penyuka kupu-kupu. Apa kabar Sa? Aku tidak mengerti masih pantaskah aku menyapamu, setelah ledakanku membuat alam rayamu tak seimbang. Namun aku harus menyampaikan ini, anggap saja ini adalah kalimat maaf yang belum sempat kusampaikan secara langsung.
Ketika kamu membaca ini kupastikan planet Dava sudah singgah di alam raya yang lain yang lebih menenangkan dan mendamaikan. Bukan berarti aku berpaling Sa. Aku masih bisa melihatmu dan mencintaimu. Hanya saja ragaku tidak bisa lagibersamamu.
Aku kena kanker kelenjar betah bening Sa, yang nggak tahu sejak kapan dia hinggap dan tumbuh di tubuhku. Perkembangannya begitu pesat dan aku tidak bisa memprediksi berapa lama lagi aku bisa bersamamu. Tapi selama aku masih punya waktu aku berusaha keras mewujudkan mimpi-mimpimu.Daftar keinginanmu sudah kupenuhi satu-satu, dari mulai melihat sunset di Pantai Nguluran Gunung Kidul, menyaksikan matahari terbit di kawasan Bromo Tengger, seharian keliling Gramedia untuk baca buku dan akhirnya beli beberapa buku (ini permintaan paling aneh Sa, pasangan mana yang bakal mau pacaran di perpustakaan coba selain kita?), sampai mengosongkan beberapa hari untuk pergi ke pulau komodo untuk melihat komodo.
Tapi ada satu permintaan yang tidak bisa kuwujudkan yaitu menua bersama. Jujur aku juga ingin Sa, keinginanku bahkan jauh lebih besar, tapi apa daya, takdirku, hidupku, dan matiku bukan milikku. Maaf untuk itu.
Jangan sedih Antariksa, alam raya yang akan menjadi ruang untuk hidupnya planet-planet harus menyimpan seribu harapan. Kalau kamu sedih kehidupan planet-planet lain juga akan sedih. Jadi tersenyumlah, agar seluruh elemen yang mengitari alammu juga ikut tersenyum. Dan bangunlah peradaban baru bersama planet yang baru Sa.
Terima kasih untuk hari-hari baiknya, dan maaf untuk ketidaksempurnaanku di lembar ceritamu.
Aku mencintaimu,
Planet Dava.
Di atas nisan aku meletakkan sebuket bunga, kuelus nisan itu sambil kukatakan dalam hati, “Terima kasih Dava untuk ada dan menganggapku ada. Semoga tenang dalam tidur panjangmu.Aku juga mencintaimu.”
END
By: Denies Vey