Sumber gambar : Unsplash
Setiap hari, setiap waktu, selalu ada masalah. Peristiwa yang berlalu lalang di kemas dalam sebuah berita. Dari hal yang unik, hingga mengherankan. Seperti pagi ini, berita menggemparkan mengenai seorang anak perempuan yang berlarian ke pusat kota dengan membawa sebuah kepala manusia.
Namun, sebelum berpikir lebih jauh, lebih baik dengarkan ceritaku. Cerita tentang mimpi, ambisi, keingintahuan, dan keegoisan seorang manusia kecil. Semua awalnya berjalan normal, menurutku.
“Ayah hari ini ada rapat pagi. Kau bisa berangkat sendiri, ‘kan, Nafa?”
Sosok pria tua dengan kacamata tebalnya tersenyum dengan wajah bersalah. Secepat mungkin aku menggelengkan kepala dan menelan sarapan pagiku. “Nggak apa! Anakmu ini sudah besar, Ayah. Sudah berani berangkat sekolah sendiri!” kataku dengan bangga.
Raut bersalah itu luntur, tergantikan wajah yang penuh kelegaan. Telapak tangannya yang besar menyentuh kepalaku dan sedikit mengelusnya. Tak ingin merusak tatanan rambut yang disisir oleh ibuku pagi buta tadi.
Ayahku pun lantas berpamitan untuk pergi. Meninggalkanku yang masih mengunyah makanan di meja makan sendiri, lagi. Mulutku seolah kehilangan hasrat untuk melanjutkan. Nasi goreng buatan Ibu juga sudah terasa hambar.
Aku menatap datar meja makan yang sudah lama tak diisi penuh. Orang tuaku begitu sibuk bekerja. Ibuku akhir-akhir ini hanya pulang untuk membangunkanku lalu kembali hilang ketika selesai memasak. Ayah juga tak kalah sibuknya. Aku hanya berpapasan langsung di pagi dan malam hari.
Namun, tidak apa. Aku paham jika mereka pergi untuk mencari uang. Untukku bahagia versi orang tuaku. Aku harusnya bersyukur memiliki orang tua yang bekerja keras, bukan?
Lagipula, karena sering tidak diperhatikan, membuatku merasa bebas. Hampir semua permintaanku dipenuhi. Secara material tentunya. Tak jarang juga aku bermain di rumah temanku hingga menginap.
“Kau tidak dimarahi, Fa? Sudah tiga hari kau di sini,” tegur Rani, salah satu teman sekaligus tetanggaku. Kami sudah berteman bahkan ketika sebelum mengenal sekolah. Orang tua kami juga saling mengenal.
Aku menggeleng pelan tanpa melepas pandanganku dari novel yang kupegang. Terlanjur seru untuk dilewatkan. Adegan tokoh utama yang tersudut karena usahanya mengusir hantu justru berbalik padanya. Hantu dalam cerita justru mengusirnya dengan memberinya teror. Konflik cerita yang kubaca sedang dalam puncaknya, Rani bukan prioritasku sekarang.
“Orang tuaku justru senang karena ada yang menjaga,” jawabku santai.
Rani melotot sambil menjauhkan handphone miliknya. “Enak dong! Aku aja nggak boleh nginep sama Papa. Harus pulang sebelum jam empat sore. Aku juga ingin kayak kamu.”
Aku tertawa hambar. Mengalihkan novel hantu yang sempat membuatku lupa diri. Tak ingin memberitahukan Rani, jika aku yang sebenarnya iri padanya.
“Udah, lanjur nge-drakor aja! Aku pengen nyelesain ini dulu. Lagi seru,” elakku mengembalikan fokus pada buku setebal empat ratus halaman itu.
“Apa serunya bacaan horor, sih? Mana kerasa. Mending nonton film horor. Hayuk, kucariin yang versi drakor.” Rani melirik ke arah novelku. Tahu jika merebutnya langsung dari tanganku hanya akan membuatku marah. Dia pernah melakukannya sebelum ini.
Bola mataku memindai tulisan di atas kertas itu dengan cepat. Seolah tak ada waktu lagi untuk menamatkannya. Namun, tubuhku memiliki sistem kerja sama yang baik. Mulutku melakukan tugasnya sendiri untuk membalas perkataan Rani.
“Lebih ke penasarannya, sih. Kalau jumscare-nya emang nggak terlalu kerasa soalnya nggak ada emang, hehe. Tapi, seru kok. Coba aja, nih.” Kusodorkan buku novel yang kupinjam dari perpustakaan sekolah pagi tadi.
“Nggak, ah. Mager, mending nonton ayang.”
Aku tahu jawabannya sebelum dia membuka suara. Sejak dulu, Rani memang paling anti dengan buku. Jika aku memiliki julukan kutu buku, maka Rani adalah kebalikannya. Entah apa yang membuat kami bersahabat sampai sekarang.
Ngomong-ngomong, ayang yang dia maksud adalah aktor film korea. Dia tidak diperkenankan pacaran hingga umurnya dewasa. Orang tuanya tipikal pengatur, memang berbeda dengan orang tuaku. Rani nampaknya tak merasa berat. Semoga saja dia tidak memberontak ketika sudah pubertas nanti.
Hari ke empat aku di rumah Rani, ayahku memintaku untuk kembali. sedikit membuatku bingung karena tiba-tiba dan tak biasanya terjadi. Menuntaskan rasa ingin tahuku, aku memilih segera berlari pulang. Ternyata, di sana sudah terdapat ibu yang tersenyum ke arahku.
Aku menyalimi dan memeluk mereka singkat. Salah satu kebiasaan yang ditekankan di keluarga besarku. “Ayah dan Ibu kok udah pulang? Ada apa?”
Mereka saling bertatapan sejenak. Sebuah tawa keluar dengan mulusnya, diikuti wajahku yang semakin bingung. “Kau lupa ini hari apa, Nafa?” tanya Ibu lembut.
“Hari rabu,” jawabku polos.
Elusan tangan mendarat di kepalaku. Ayah lantas berkata, “Itu juga benar. Tapi,ada hal lain, loh? Kau tak ingat?”
Aku berkedip. Otakku mendadak lemot jika disuruh mengingat sesuatu. Lagipula, hari ini juga tidak ada upacara di sekolah. Biasanya akan diadakan upacara saat merayakan hari spesial. Menyerah, akhirnya kujawab dengan gelengan kepala.
Ayah dan Ibu kembali bertukar pandang sebelum mengambil sesuatu di belakang mereka. Bersama-sama, mereka menghitung, “Satu, dua, tiga! Selamat ulang tahun Nafa!”
“Eh?”
Sungguh, aku melupakannya. Kepalaku mencoba mengingat kembali tanggal berapa hari ini. Karena tak menemukan jawaban, aku melihat ke arah kalender. Benar, ini tanggal tiga belas, ulang tahunku.
“Gimana, kau terkejut, bukan?”
Kulihat wajah Ayah dan Ibu yang semakin berseri. Mereka menyodorkan sebuah bingkisan besar. Dengan jantung yang berdegup, aku membukanya perlahan. Kedua mata cokelatku membuat tak percaya.
“Ini … teropong?!” tanyaku memastikan benda yang kini kupegang.
“Iya. Ibu tahu kau selalu melihat ke arah langit ketika malam, bukan? Dengan ini, kau bisa melihat bintang dengan lebih jelas,” kata Ibu yang membuatku berhamburan memeluknya. Mengucapkan terima kasih.
“Ayah bagaimana?”
Aku melepas pelukanku dan mendekati pria tua berkacamata itu. Ayah sudah merentangkan tangan, bersiap menyambut pelukan. Namun, bukan itu yang beliau dapatkan. “Ini! Pasangin teropongnya di dekat jendelaku, Yah!” mintaku dengan cengiran.
Ibu tertawa mendengarnya. Sedangkan Ayah terkejut sejenak sebelum akhirnya menggelitiku sebagai hukuman. Meskipun begitu, Ayah tetap membantuku membawa dan menaruh teropong di dekat jendela.
Setelahnya, tentu saja, aku menikmati hadiahku seolah tak ada lagi hal yang lebih membahagiakan dibandingkan hal itu. Lupakan soal kue, lupakan soal pesta, aku sudah cukup dengan teropong ini. Satu benda yang katanya membuat orang tuaku lembur akhir-akhir ini.
Nah, sudah kubilang. Mereka pergi untuk kebahagiaanku.
“Nafa, ini sudah larut. Tidurlah, Nak.”
Ibu membuka pintu kamarku. Dari suara napasnya yang tertahan, sepertinya beliau syok melihat keadaan kamarku. Yah, aku memang tidak suka membereskan barang-barangku. Pasti, setelah ini aku akan kena omel.
“Nafa!”
Tuh, ‘kan, baru saja dibilang. Alhasil, dengan wajah cemberut, aku mengambil bantal yang kupakai untuk duduk dan melemparnya ke kasur. Tanganku lantas memungut boneka yang berserakan di lantai. Ibu hanya sebagai pengawas, matanya tajam menyoroti tingkah lakuku dan tangannya bersedekap dada.
“Nah, kalau begini ‘kan lebih enak dilihatnya. Anak Ibu emang pintar,” puji Ibu lantas mengecup dahiku, mengucapkan selamat malam.
“Mimpi indah juga, Ibu. Dan Ayah juga, nanti ngambek lagi,” cengirku dengan tubuh yang sudah dibalik selimut. Ibu hanya terkekeh mendengarnya.
Tepat ketika Ibu mematikan lampu dan menutup pintu kamarku, kelopak mataku terbuka. Senyum jahilku muncul seketika. Dengan sigap, aku melempar selimutku dan memelankan langkah. Jemariku dengan gemas mengambil teropong lalu membuka jendela.
Semilir angin dingin membuat langkahku mundur. Terpaksa, aku harus memutar badan dan mengambil jaket dari dalam lemari. Sebelum kakiku melangkah keluar, ada sebuah suara yang melewatiku dengan cepat. Aku menoleh ke dalam sejenak, tidak ada apa-apa.
“Mungkin hanya angin,” gumamku tak acuh.
Langkahku pun membawaku keluar rumah. Aku merangkak dengan teleskop yang kubawa seperti tas. Sebelumnya, dari satu ujung ke ujung yang lain sudah kupasangkan tali agar aku tetap bisa bergerak luwes.
“Kalau suasananya sepi seperti ini memang paling pas untuk melihat bintang,” gumamku duduk di atas genteng lalu mengambil teleskop. Kulihat satu sepersatu bintang yang berhamburan di langit. Sambil terus tersenyum menganguminya.
Hanya saja, angin malam benar-benar menganggu. Berulang kali aku harus merapatkan jaket biruku karena resletingnya yang rusak. Kegelapan sebenarnya juga musuh bebuyutan, tapi rasa takutku kalah dengan rasa ingin tahuku.
Apalagi malam ini bulan purnama, satelit bumi itu terlihat melingkar sempurna dengan pancaran cahaya yang menerangi gelapnya malam. Sungguh beruntung, terlebih rumahku yang terletak di pedesaan. Di sini lampu untuk jalan masih minim. Benar-benar menyeramkan jika tak ada cahaya rembulan.
“Ya ampun, ada bintang jatuh!” pekikku tanpa sadar. Kaki-kakiku mulai berdiri, dengan pergelangan yang semakin memutar ujung teleskop. Memainkan lensa supaya aku bisa melihat cahaya yang menurun jatuh.
Bintang jatuh termasuk fenomena yang langka, aku tidak boleh melewatkannya. Melihat dari atas rumahku masih belum membuatku puas. Aku harus pindah.
“Tapi, nanti Ayah dan Ibu tahu nggak, ya?”
Aku melepaskan pandanganku dari langit. Menatap rumah bercat hijau toska dari atas sini. Seluruh lampu kecuali lampu depan dimatikan. Ayah selalu berpesan untuk menghemat listrik.
Melihat hal itu, aku semakin mantap untuk melakukan hal gila. “Gak apa, lah. Paling mereka udah tidur!” kataku mengulas senyum. Kukaitkan kembali teropongku dengan tali, membawanya kembali bagaikan tas.
Aku berhenti sejenak untuk memikirkan tujuan dan strategiku ke sana. Setelah menemukan ide, aku mulai melangkahkan kaki telanjangku. Aku lupa membawa sepatu ke atas sini.
“Hati-hati.”
Mataku melotot sempurna. Kutolehkan kepalaku ke arah sumber suara. Tidak ada siapapun bahkan ketika aku sudah berputar 360 derajat. Tanganku menyentuh telinga yang mendapat bisikan.
“Perasaanku aja, kalik, ya?’
Lagi-lagi, aku memilih tak acuh. Dengan persiapan lari, aku mulai melompat ke genteng tetangga. Awalnya sedikit kacau, kakiku terpeleset genting. Untung saja genting itu tidak jatuh.
Lompatan kedua dan seterusnya berjalan mulus. Aku mendapatkan spot melihat bintang yang bagus. Rumah Pak RT. Kebetulan berada dipinggir desa yang berdekatan dengan waduk.
Air-air waduk itu memantulkan cahaya rembulan dan bintang. Langit seolah sedang bercermin jika dilihat dari sudut pandangku. Pemandangan yang amat menakjubkan meski harus kunikmati sendiri.
“Gila, harusnya aku bawa kamera tadi. Bisa kupamerin sama Rani,” sesalku. Namun, rasa penyesalan hanya hinggap sejenak, karena tanganku kembali memutar lensa untuk melihat bintang jatuh.
Terlalu asik melihat bintang jatuh, hingga aku tak sadar jika ada hal lain yang jatuh. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya merembas masuk ke kulit. Aku melepaskan pandangan dari teleskop, menatap telapak tanganku yang mengarah ke atas.
Bulir-bulir air mengumpul di sana. Sial, malam sudah dingin, masih hujan pula.
“Besok otw masuk angin, ini!” teriakku langsung melesat kembali ke rumah.
Clak.
Segera kututup jendelaku agar angin dan air tak masuk ke dalam kamar. Aku melihat sekujur tubuh yang basah kuyup. Bahkan jaketku tak bisa menghalangi air merembas hingga pakaian dalam.
Dengan terpaksa, aku harus mandi malam ini. Huh, menyebalkan.
Kakiku melangkah dengan hati-hati agar tidak tersandung barang yang ada di lantai. Setelah sampai di daun pintu, aku langsung melesat ke kamar mandi yang ada di lantai satu. Aku tak peduli jika langkah kakiku menghasilkan suara. Toh, di luar sedang hujan deras. Guyuran air shower di kamar mandi pun tak akan didengar oleh kedua orang tuaku.
“Gak apalah, mandi malam-malam. Yang penting listriknya nggak mati. Kalau iya, bisa mati aku,” ucapku kala keluar kamar mandi dengan menggosok rambut pendekku dengan handuk.
Usai berpakaian, aku kembali melangkah ke kamar. “Hoam, ngantuk!”
Akhirnya, aku melakukan hal yang diperintahkan ibuku. Kupeluk sebuah guling karena bonekaku tidak berada di atas kasur. Biasanya, aku lebih memilih memeluk boneka dibandingkan guling. Namun, karena rasa kantukku sudah membutakan kesadaranku, aku tak ambil pusing.
Aku terlelap malam itu, tanpa menyadari jika kamarku kembali berantakan. Padahal aku sudah merapikannya sebelum tidur kepura-puraanku.
Aku hanya menarik selimut. Menggerutu karena angin dingin menerpa wajahku. Angin itu berasal dari kipas angin yang memang biasanya kugunakan saat tidur. Berhubung Ayah menolak memasangkan AC di kamarku.
“Dingin!” keluhku langsung memencet tombol asal dari badan kipas hingga menjatuhkannya. Namun, kutak peduli lagi. Aku sudah ingin menjemput mimpi.
“Hachu! Ah! Beneran masuk angin!”
Aku mengusap hidung merahku dengan tangan. Mataku setengah terbuka, bewarna merah, dengan wajah lesu. Lengkap sudah penampilanku yang mirip dengan monster.
Aku bisa mendengar suara burung yang berkicau di luar kamar. Cahaya matahari masuk dan menimbulkan bayangan di benda yang ada di sekitarku. Dengan kecepatan berpikir di bawah rata-rata, aku teringat sesuatu.
“Aku terlambat sekolah!”
Segera, kupelototi jam dinding yang jarum jamnya menunjuk ke angka delapan. Itu bukan kabar yang bagus tentunya. Buru-buru, aku membuka pintu kamar. Melupakan sejenak tentang rasa sakitku.
“Ayah! Ibu! Kok nggak bangunin aku! Udah telat, nih!” teriakku di sepanjang perjalanan.
Aneh, tidak ada jawaban. Dapur dan tempat makan kosong. Bahkan terlalu bersih hingga seperti tak digunakan. “Apa mereka sudah berangkat kerja?” pikirku.
Untuk memastikannya, aku melangkahkan kaki ke lantai dua. Di seberang kamarku, terdapat kamar utama milik Ayah dan Ibu. Aku mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam. Kembali kupanggil keduanya, tapi nihil. Tidak ada jawaban.
Kamarnya juga kosong. Membuatku semakin kecewa. Sepertinya benar, mereka pergi tanpa pamit kepadaku. Entah karena efek flu atau memang tamparan kenyataan yang begitu menyakitkan, hidungku rasanya semakin tersumbat. Ditambah bulir air mata yang turun perlahan.
Aku pun memutuskan untuk bersekolah meski dengan keadaan seperti ini. Tidak apa, orang tuaku saja tidak peduli, jadi tidak akan ada yang memperhatikannya, ‘kan?
Kubasuh wajahku yang sungguh terlihat menyedihkan pagi ini. Siapapun pasti tahu jika aku usai menangis. Ah, ya sudahlah. Nanti aku tinggal beralasan terkena flu.
Kuseret sepatu hello kitty-ku keluar kamar mandi. Aku sudah tak nafsu makan hari ini. Jadi, aku melewati ruang makan dan langsung ke ruang tamu untuk keluar rumah. Sekat rumahku cukup lebar, antara ruang satu dengan yang lainnya banyak yang tidak tertutup pintu. Hanya seperti sebuah tembok dengan lubang.
Samar-samar, kulihat rambut hitam yang berkilau karena minyak rambut. Tersusun rapi ke belakang dengan kacamata bertengger di atasnya. Aku tahu siapa yang memiliki kebiasaan itu.
“Ayah? Kau masih di rumah?” Langkah kakiku semakin lebar. Suasana hatiku sedikit membaik. “Kenapa tadi nggak nyaut pas aku ….”
Aku terhenti karena menginjak objek tak biasa melalui sepatuku. Sepatu putih pemberian Ibu dua bulan yang lalu. Sempat diprotes oleh Ayah karena warna putih mudah sekali kotor.
Ayah benar, sepatuku kini mencolok dengan warna lain yang timbul akibat cipratan air. Bukan air hujan, bukan pula air liur. Jika biasanya air tak bewarna atau hanya bewarna cokelat, air kali ini berbeda. Dia bewarna merah.
“…. Memanggilmu?” Mulut adalah sesuatu yang totalitas. Dia menuntaskan kata yang terpotong tadi.
Pandanganku dengan perlahan beralih ke depan. Melupakan sejenak mengenai cairan merah di lantai. Napasku semakin tercekat dengan apa yang kulihat. Cairan merah tadi adalah darah dan asal darah itu adalah dari meja ruang tamu.
Apa yang ada di atas sana?
Ayah dan Ibu.
Namun, hanya kepalanya saja.
Brak.
Tubuhku jatuh, kedua mulutku menutup mulut. Bentuk refleks melihat hal yang mengejutkan. Kedua mataku melotot, bukannya berkedip untuk memastikan ini bukanlah khayalan.
Hingga akhirnya, genangan darah yang mendekat menyadarkan keterkejutkanku. Mengubahnya dengan tangisan yang tak mungkin kuhentikan.
“Ayah! Ibu!”
Matahari mulai menunjukkan eksistensinya pada langit. Keluar dengan totalitas dan memancarkan sinar kebanggannya. Awan pun merasa minder di dekatnya. Di cuaca cerah itu, aktivitas manusia dimulai. Mereka berjalan mengikuti alur takdir yang sudah disediakan.
Kecuali satu manusia. Dia berjalan bukan karena takdir, bukan pula untuk mencari secercah cuan. Yang dia butuhkan adalah bantuan.
“Tolong! Siapapun, tolong!”
Orang-orang di dekatnya justru melotot lantas menghindarinya. Seolah memberinya jalan agar menemukan sosok yang bisa membantunya. Gadis mungil dengan langkah terseok-seok itu kembali berteriak dengan suara yang serak.
“Tolong Ayah dan Ibu! Tolong bantu aku menyelamatkan mereka … kumohon, siapapun.”
Gadis itu meringkuk, memeluk hal yang membuat orang-orang segan padanya. Jejak kakinya juga terhiaskan tetesan air bewarna merah. Seolah mengatakan jika gadis itu berasal dari neraka.
Ya, gadis dalam berita itu adalah aku. Aku yang ceroboh tak memperhatikan sekelilingku, aku yang ceroboh untuk keluar rumah di malam hari. Membuat sosok lain masuk ke dalam rumah dan membuat orang tuaku seperti ini.
Di dinding ruang tamu, dia menuliskan pesan dengan darah yang kuyakini darah orang tuaku :
“Lain kesempatan, kepalamu lah korbannya.”
Tamat.
Penulis : Nafa