Sumber gambar: Unsplash
Pukul satu siang, di bawah matahari yang terik, seorang gadis muda berdiri di tepi jalan. Sambil memegang ponselnya, dia berulang kali melihat jam, menunggu temannya tiba. Gadis itu bernama Tantri, seorang mahasiswi semester 2 yang hendak berangkat kuliah bersama Rafi, teman sekelasnya.
Tak lama kemudian, seorang pria dengan motor tiba, berpakaian rapi dengan kemeja dan rokok di tangannya. Pria itu adalah Rafi. Dengan wajah tanpa rasa bersalah, ia tersenyum pada Tantri yang sudah menunggunya.
“Dasar kau, Rafi! Aku menunggumu dari pukul 12. Apa kamu tidak bisa melihat jam?!” bentak Tantri.
“Maaf, jalan raya macet siang ini. Mana matahari tepat di atas kepala lagi,” jawab Rafi santai.
“Halah, kita sudah terlambat ini,” sahut Tantri dengan wajah kesal.
Tantri naik ke sepeda motor Rafi dengan wajah muram. Keduanya terdiam sepanjang perjalanan, merasa kesal karena ini akan membuat mereka terlambat masuk kelas. Ketika mereka tiba di kampus, dosen sudah mulai menjelaskan materi.
Saat masuk kelas, semua mata tertuju pada mereka. Tantri mencoba menjelaskan, “Maaf, Pak, kami terlambat karena Rafi terhalang macet di jalan.”
Dosen menatap mereka dengan tajam. “Apakah urusan kalian menjadi urusan saya?”
“Maaf, Pak, kami tidak akan mengulanginya lagi,” kata Tantri.
“Saya tidak bisa percaya ucapan kalian hari ini. Silakan tunggu di luar sampai mata kuliah saya selesai,” jawab dosen tegas.
Dengan wajah penuh amarah, Tantri menutup pintu kelas dan menunggu di luar bersama Rafi. Mereka duduk di samping dinding luar kelas, merasa kesal, dan bingung harus berbuat apa. Rafi yang seolah tak peduli, masih bisa menghisap rokok dengan santai.
“Rafi, kamu benar-benar bikin masalah. Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi,” keluh Tantri.
“Sudahlah, Tan. Nanti kita jelasin lagi ke dosen. Pasti dia ngerti,” jawab Rafi dengan nada malas.
Setelah kelas selesai, seorang ketua kelas menghampiri mereka dan menyuruh mereka menemui dosen. Mereka merasa gelisah karena dosen ini dikenal sangat disiplin. Ketika masuk ke dalam kelas, wajah dosen tampak marah.
“Rafi dan Tantri, mengapa kalian terlambat di jam saya?” tanya dosen.
“Saya menunggu Rafi, Pak. Kebetulan Rafi terhalang macet di jalan dan harus menjemput saya, sehingga kami terlambat,” jawab Tantri.
“Lalu, apakah kalian tidak bisa berpikir untuk berangkat lebih awal agar tidak terlambat?” tanya dosen lagi.
Mereka hanya diam, bingung, dan takut. Dalam hati, Tantri ingin menangis.
“Kalian tahu kan, di jam saya, saya tidak menerima mahasiswa terlambat. Ada konsekuensi bagi mereka yang terlambat,” lanjut dosen.
Rafi dan Tantri hanya bisa terdiam, merasa akan diberikan tugas yang berat. Dosen melanjutkan, “Konsekuensi untuk kalian adalah menjadikan diri kalian tampak peduli dan bermanfaat di lingkungan umum dan sekitar. Hukuman ini berlaku sampai kalian selesai di mata kuliah saya.”
Mereka bingung dan saling menatap. Tantri bertanya, “Maaf, Pak, saya kurang mengerti hukuman yang Bapak berikan kepada kami?”
“Apakah telinga kalian juga macet? Sudah saya katakan, konsekuensi kalian adalah menjadikan diri kalian tampak peduli dan bermanfaat di lingkungan umum dan sekitar. Untuk laporan, setiap selesai kuliah saya, kalian harus melaporkan minimal satu perbuatan yang bermanfaat dalam seminggu terakhir ini,” jelas dosen.
“Baik, Pak. Kami mengerti,” jawab Tantri.
“Bagus. Jika saya tidak menerima laporan dari kalian, akan ada konsekuensi lebih. Paham?”
“Paham, Pak.”
Mereka hanya bisa berpikir apa yang harus dilakukan setiap minggunya. Tantri dikenal sebagai mahasiswi ambisius, sedangkan Rafi mahasiswa yang tidak begitu peduli terhadap kuliahnya. Hukuman ini membuat mereka saling menyadari pentingnya bermasyarakat dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Minggu pertama, Tantri dan Rafi merasa bingung harus melakukan apa. Tantri, yang biasanya sibuk dengan tugas dan belajar, merasa kesulitan untuk menemukan waktu untuk melakukan kegiatan sosial. Sementara itu, Rafi yang dikenal malas, lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain game atau nongkrong bersama teman-temannya.
Namun, pada suatu hari, mereka berdua melihat seorang ibu tua yang kesulitan menyeberang jalan. Tantri spontan mendekati ibu itu dan menawarkan bantuan. Rafi, yang awalnya ragu, akhirnya ikut membantu. Mereka berdua merasakan kepuasan yang tak terduga setelah membantu ibu itu.
“Rafi, ternyata membantu orang lain itu nggak seburuk yang aku kira,” kata Tantri.
“Iya, Tan. Aku juga ngerasa lebih baik. Mungkin hukuman dari dosen nggak seburuk itu,” jawab Rafi.
Minggu demi minggu berlalu, mereka mulai terbiasa dengan rutinitas baru mereka. Mereka membantu membersihkan lingkungan sekitar, mengajar anak-anak jalanan, dan menjadi relawan di panti jompo. Tantri dan Rafi merasa bahwa hidup mereka menjadi lebih bermakna. Mereka mulai menyadari bahwa peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitar bukanlah hal yang sulit.
Suatu hari, saat sedang mengajar di sebuah panti asuhan, Tantri dan Rafi bertemu dengan seorang anak kecil bernama Budi. Budi sangat cerdas dan memiliki semangat belajar yang tinggi, namun ia tidak memiliki akses yang memadai untuk pendidikan. Tantri dan Rafi merasa tersentuh dengan cerita Budi dan memutuskan untuk membantu.
“Rafi, aku merasa kita harus melakukan sesuatu untuk Budi. Dia anak yang pintar, tapi dia tidak memiliki kesempatan yang sama seperti kita,” kata Tantri.
“Aku setuju, Tan. Kita bisa mengumpulkan buku-buku dan alat tulis untuk Budi dan anak-anak lainnya di panti asuhan ini,” jawab Rafi.
Mereka mulai menggalang dana dan mengumpulkan bantuan dari teman-teman mereka. Dalam beberapa minggu, mereka berhasil mengumpulkan banyak buku dan alat tulis untuk Budi dan anak-anak di panti asuhan. Melihat kebahagiaan di wajah anak-anak tersebut, Tantri dan Rafi merasa sangat puas dan bangga dengan apa yang telah mereka lakukan.
Ketika semester berakhir, Tantri dan Rafi melaporkan semua kegiatan sosial yang telah mereka lakukan kepada dosen. Dosen tampak terkesan dengan perubahan sikap dan tindakan mereka.
“Saya bangga dengan apa yang kalian berdua telah capai. Kalian telah membuktikan bahwa kalian bisa menjadi mahasiswa yang peduli dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar,” kata dosen dengan senyum.
“Terima kasih, Pak. Kami belajar banyak dari pengalaman ini,” jawab Tantri.
“Betul, Pak. Kami akan terus melakukan hal-hal baik meskipun hukuman ini sudah selesai,” tambah Rafi.
Dosen mengangguk dengan puas. “Saya harap kalian terus mempertahankan sikap ini. Ini bukan hanya tentang akademik, tapi juga tentang bagaimana kalian menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat.”
Tantri dan Rafi saling tersenyum. Mereka tahu, meskipun awalnya merasa hukuman ini berat, namun pada akhirnya pengalaman ini telah mengubah mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Mereka tidak hanya belajar tentang pentingnya ketepatan waktu, tetapi juga tentang nilai-nilai kepedulian dan tanggung jawab sosial.
Kisah Tantri dan Rafi menjadi inspirasi bagi teman-teman mereka. Banyak dari mereka yang mulai terlibat dalam kegiatan sosial dan membantu lingkungan sekitar. Kampus menjadi tempat yang lebih baik dan lebih harmonis berkat perubahan yang dimulai oleh dua mahasiswa yang terlambat pada suatu siang yang terik.
Penulis : Widodo
Editor : Nafa