Foto: Pinterest
Sudah delapan tahun berlalu, perasaan sayang Naya kepada ibunya tidak berubah. Persis seperti perasaan traumanya kepada suami ibu, semenjak kejadian itu, tidak berubah. Meskipun sampai sekarang ia tidak juga tahu apa yang mesti dilakukan agar bayang-bayang mengerikan itu tidak terus-menerus menghantui kenyataan hidupnya. Kepada siapa lagi harus menaruh harap? Waktu bagai tiada henti menghina diri manusia, sampai akhirnya waktu benar-benar mengubur dalam-dalam diri manusia bersama tangis dan harapan.
Ibu, kenapa kau terus saja berpegang teguh pada keputusan yang justru membuat Ibu terus-menerus menderita? Naya berpikir dalam benaknya. Seharusnya Ibu mengizinkanku untuk melakukan lebih dari sekadar berdoa. Bagiku, harga diri terlalu mengerikan jika sekadar dipertahankan dengan doa.
“Tapi, aku juga tidak ingin membunuh mati perasaan ibuku,” ucap Naya menghentikan lamunannya lalu berfokus pada temannya, Shofia. “Akan lebih menyakitkan lagi, jika aku harus melihat ibuku menderita karena keputusan nekatku, Shof. Aku tidak siap untuk itu.”
“Aku mengerti perasaanmu, Nay. Tapi, sampai kapan? Sampai kapan kau akan terus hidup bersama penderitaan yang mestinya bisa kau lawan? Jika aku menjadi dirimu, Nay, pasti aku akan menuruti saran nenekmu untuk ibumu itu.” Shofia menanggapi.
Udara di pusat kota benar-benar sangat dingin. Namun, di pojok alun-alun kota, dua botol es teh seperti tidak terasa dinginnya. “Kehidupan memang selalu tidak bersih dari keberengsekan. Bahkan, terkadang kita sendiri juga menyumbang keberengsekan itu. Ayahku berengsek karena begitu cepatnya meninggalkanku yang belum cukup umur. Ibuku berengsek karena terlalu polos untuk terus memilih hidup bersama laki-laki berengsek itu. Apa bahagianya hidup layaknya budak bersama laki-laki yang tak pantas menikmati jerih payah ibuku sehari-hari? Dan aku, juga sangat berengsek karena tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya mengumpat, mengumpat, dan mengumpat,” geram Naya sambil memukulkan tangannya ke tanah tempat ia duduk bersama Shofia.
Shofia hanya memaku. Rasa-rasanya hatinya selalu tambah teriris tiap kali mendengar Naya yang tidak bisa berbuat apa-apa karena kekhawatirannya yang teramat sangat akan nasib ibunya jika ia melakukan tindakan yang lebih dari sekadar berdoa dan mengumpat. Mudah saja bagi Naya untuk bertindak lebih andaikan ia tidak lagi mau memikirkan nasib ibunya. Namun, mana mungkin ada hati yang tidak terluka jika melihat orang yang dicintainya menangis. Mendengar orang terkasih sedih saja hati sudah perih.
“Nay, kita punya teman-teman yang akan membantu agar ibumu mau untuk mengubah prinsipnya itu,” ucap Shofia mencoba menguatkan hati Naya.
“Tidak, Shof. Itu tidak bisa.”
“Mengapa begitu?”
“Berkali-kali ibuku setiap kali curhat kepadaku, meski dengan suara yang tersayat-sayat itu, pada akhir kalimatnya, ibuku selalu mengatakan bahwa ia tak mau kalau harus pisah. Bahkan, ibuku menegaskan lebih baik mati daripada harus pisah. Bagi ibuku, pandangannya tentang harga diri justru terletak pada komitmennya sebagai seorang istri yang setia dan taat, betapapun ia tersiksa dan menderita. Karena itu, bagi ibuku, harga dirinya akan tidak lagi ada jika dia memutuskan untuk pisah. Kau paham maksudku kan, Shof? Begitulah, aku terkadang sangat tidak paham dengan pikiran ibuku. Mengapa harus ada norma, aturan hukum, bahkan agama di dunia ini yang justru malah menghambat hal-hal baik.”
Shofia hanya menghela nafas. Matanya menatap kosong ke depan, tetapi pikirannya tiba-tiba jadi penuh. Manusia memang akan selalu memegang sesuatu yang dipercayainya sebagai suatu prinsip hidup. Ya, untuk bertahan hidup kita harus percaya pada semua pengetahuan dan pemahaman yang kita miliki. Semua orang terikat dan bergantung pada pengetahuan dan persepsinya sendiri. Itulah yang kemudian menjadi instrumen untuk memahami kenyataan yang mesti dihadapi.
Hanya saja, pengetahuan dan pemahaman yang membentuk cara pandang kerap kali merupakan sesuatu yang sangat samar. Kenyataan yang kita hadapi terkadang juga hanyalah sebuah ilusi. Singkatnya, semua manusia sebenarnya hidup dengan asumsinya masing-masing dalam cara mereka memahami sesuatu hal, sehingga itu memberikan suatu sudut pandang yang berbeda untuk suatu hal.
“Kau harus berani untuk mengubahnya, Nay, bagaimanapun caranya. Meski dengan memaksa ibumu,” ucap Shofia
Naya hanya bergeming. Akan tetapi, tanganya gemetar hebat. Jiwanya menangis. Bahkan rembulan yang nampak terang pun bagai tidak berguna untuk keadaan hati Naya yang sedang risau.
“Apa kau tidak akan sakit ketika teringat masa lalumu di rumah itu. Kau pernah berkata padaku bahwa kau tidak ingin lagi hidup di rumah itu, bukan?” Shofia melanjutkan. “Dengarkan aku, Nay, sekarang kau harus mengatakan sejujur-jujurnya kepada ibumu, tentang perasaanmu, tentang kekhawatiranmu, dan tentang masa lalumu itu.”
“Sekarang? Malam ini juga?”
“Jika memang memungkinkan kenapa tidak, Nay?” jawab Shofia. “Menyimpannya lama-lama hanya akan membuatmu semakin tersiksa. Ini demi dirimu dan ibumu.”
Naya merunduk, memupuskan harapan Shofia dengan cepat. “Tapi, tidak mungkin semudah itu, Shof.”
“Sudahlah, Nay, kau hanya harus melakukannya. Hilangkan semua keraguanmu itu, kekhawatiranmu yang tidak berguna itu.” egas Shofia.
“Apa kau bilang? Tidak berguna? Shof, aku tidak ingin melihat ibuku mati!” gertak Naya nyaris meremas kuat botol es tehnya.
“Ibumu sudah mati sejak saat kau tidak berhasil membebaskannya.”
“Maksudmu, Shof?” tanya Naya heran.
“Aku tidak perlu menjelaskannya. Tanyakan sendiri pada dirimu. Aku mau pulang, aku tidak ingin berdebat secara sia-sia denganmu untuk ke sekian kalinya. Aku pamit.” Shofia pergi meninggalkan Naya sendiri. Malam semakin sunyi.
Naya mencoba menghubungi ibunya, ia ingin bertemu. Pada hari itu, sampailah ia di rumah yang masih terasa menyeramkan bagi Naya, sampai saat ini. Ia dijemput di terminal oleh ibunya sebelum akhirnya dibawa ke rumah tempat tinggal ibunya sekarang bersama suami tercinta ibunya itu. Naya tetap menyalami suami ibunya itu, meski dengan sangat berat hati dan menyimpan dendam. Ingin rasanya menusuk dada laki-laki itu, tetapi kekhawatirannya terhadap nasib ibunya selalu lebih besar dan menghalang-halanginya untuk melakukan tindakan lebih dari sekadar berdoa dan mengumpat.
Di rumah itu, waktu seperti berjalan sangat lamban. Naya sudah merencanakan untuk mengajak ibunya pergi ke tempat neneknya di desa sebelah esok harinya. Namun, menunggu esok hari datang terasa sangat lama baginya. Seperti lama yang dirasakan perasaannya menunggu Redo yang tak kunjung-kunjung merayu hatinya lagi setelah kesalahpahaman terhadap ibunya tiga tahun yang lalu. Ah, sudah tak terasa tiga tahun telah berlalu. Waktu kadang juga terasa seperti udara.
Tibalah esok hari. Sinar matahari yang masuk lewat jendela kamarnya bagai memberikan energi lebih untuk tujuannya pulang di bulan ini. Naya bergegas mandi, begitupun ibunya. Ia dan ibunya lalu pergi ke tempat neneknya. Saat dalam perjalanan tidak ada percakapan yang terjadi. Hening. Mereka sibuk bercakap-cakap dengan pikiran dan perasaannya sendiri.
“Buk?” panggil Naya. “Bagaimana keadaanmu, Bu? Ibu baik-baik saja, kan? Tidak terjadi masalah, kan?”
“Emm, ya seperti itulah, Nak. Doakan saja ya, agar ibu baik-baik saja.” Jawab ibu dengan nada berat dan sangat tertahan.
Naya tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia memilih diam. Tentu, Naya tahu persis maksud tersimpan dari jawaban ibunya tersebut.
Tibalah Naya dan ibunya di rumah Nenek. Mereka disambut dengan hangat dan penuh suka-cita oleh Nenek. Nenek satu-satunya inilah yang sebenarnya jadi harapan Naya, setelah kepergian Kakek lima tahun yang lalu. Juga ayahnya di usianya yang masih sembilan tahun.
“Alhamdulillah, bagaimana kabarnya, Nduk, Cah Ayu?”
“Alhamdulillah, Nek. Nenek sehat, tho?” jawab Naya penuh senyum sambil memeluk erat tubuh nenek. Sembari bergantian menyusul ibunya yang memeluk Nenek.
Perbincangan berlangsung sangat hangat dan penuh tawa, sembari menyantap singkong rebus bikinan Nenek. Naya sibuk membantu Nenek mengupas pisang yang hendak dibikin keripik, Ibu dan Nenek seperti tidak ada habisnya mengobrol. Tawa lepas Ibu benar-benar jujur dan murni, tidak seperti saat di rumah. Naya sangat tersentuh hatinya. Naya kemudian bergegas mencuci kupasan pisang itu di kran air depan kamar mandi.
Saat sedang asyik mencuci kupasan pisang itu, tiba-tiba terdengar suara isak tangis dari dapur Nenek. Tentu itu adalah suara tangis Ibu dan neneknya. Naya segera mempercepat pekerjaannya.
“Wis to, Nduk, nggo opo diterusno? Nek wong lanang ora gelem tanggungjawab ngunu kuwi,” lirih Nenek dengan suara parau kepada Ibu yang sangat jelas didengar oleh Naya.
Naya pernah mendengar suara ini, tiga tahun yang lalu. Ia kemudian duduk di samping ibunya, memegang pundak ibunya, lalu memeluknya. Tangis Ibu semakin terisak. Nenek kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk membenarkan nyala api di tungku tempatnya menanak nasi. Akan tetapi, dalam kondisi seperti itu, Naya tetap tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan sulit baginya untuk mengucapkan isi hatinya. Ia tentu sangat menyetujui maksud perkataan neneknya tadi.
“Nak?” tiba-tiba ibunya berucap meski dengan suara berat.
“Iya, Buk?”
“Maafkan Ibu ya, Nak…”
“Aku yang harusnya minta maaf, Buk,” ucap Naya dengan memeluk ibunya semakin erat.
“Sekarang kamu sudah tumbuh dewasa, Nak. Tetapi, kamu jangan terlalu lama tinggal di rumah ya, Nak. Melihatmu yang sudah tumbuh dewasa seperti ini, Ibu khawatir, Ibu takut kalau bapakmu akan berbuat yang tidak baik terhadapmu. Karena dia bukan bapak kandungmu.”
Naya meneteskan air matanya. Andai ibu tahu, pikirnya. Ada dorongan sangat kuat untuknya mengatakan sesuatu kepada ibunya, tentang masa lalunya. Ia menghela naPas panjang untuk menenangkan dirinya agar ucapannya bisa teratur. “Buk.” Naya mencoba mengawali.
“Tapi, Ibu akan tetap hidup dengan bapak barumu itu, Nay. Bagaimanapun keadaannya.” Ibunya memotong kesempatan Naya. “Seperti yang sudah Ibu katakan dahulu, apapun yang terjadi, jika harus memilih, lebih baik Ibu memilih mati daripada harus pisah, Nak, Mbok,” lanjut Ibu sambil menatap wajah Nenek yang sudah kembali ke tempat duduknya.
“Ibu tahu, Nak. Dan, Mbok, aku juga tahu. Mungkin keputusanku ini salah dan tidak kalian setujui. Aku minta doanya kalian supaya aku tetap kuat. Aku tidak mau pisah, Mbok. Tidak apa-apa aku hidup tersiksa dan menderita seperti ini. Mungkin ini balasanku atas dosaku terhadap almarhum Bapak, Mbok. Termasuk juga balasan atas dosaku terhadap bapak kandung Naya. Mungkin aku sering mengeluh, tapi jika diminta pisah aku tidak bisa, Mbok, lebih baik aku mati saja.” Ibu semakin sungguh-sungguh.
Naya yang dari tadi menunduk terdiam, kini mencoba untuk menatap mata Nenek. Namun, Nenek hanya menjawabnya tatapan mata Naya dengan diam. Naya memahami bahwa Nenek memaklumi dan menyetujui keputusan ibunya. Karena Nenek memahami betul apa yang sedang dikhawatirkan oleh Ibu, apabila Ibu harus berpisah dengan suami barunya itu. Ancaman, rasa malu, dan hidup yang jauh akan lebih mengerikan bukan hanya untuknya, tetapi juga Naya.
Ini adalah bentuk pengorbanan Ibumu untukmu Naya, meskipun engkau akan sulit memahaminya. Nenek menjawab dalam hatinya.
“Nay, kau tidak kecewa kepada Ibu, kan?” tanya Ibu dalam perjalanan pulang ke rumah.
“Tidak, Bu,” jawab Naya singkat dan penuh muslihat.
“Ibu sangat menyayangimu, Nak. Kaulah satu-satunya harapan ibu. Terus doakan Ibu ya, Nak, supaya Ibu tetap bisa kuat menjalani sisa hidup Ibu ini.”
“Iya, Bu, pasti.” Naya berucap pelan.
Naya tiba-tiba memberhentikan laju motornya. “Buk, aku turun sini saja, ya. Aku harus kembali ke kampus sore ini. Tadi ada kabar mendadak kalau nanti malam ada rapat organisasi. Aku menunggu bus di sini saja. Tidak usah pulang. Lagian barang-barangku juga sudah ada di dalam tasku ini,” izin Naya sembari membenarkan arah sepeda motornya. “Aku pamit ya, Bu. Sampaikan salamku kepada bapak di rumah.”
Semoga ia menjadi bapak yang benar. Naya melanjutkan ucapanya dalam hati.
Tentu saja, Naya berbohong bahwa tidak ada rapat nanti malam. Ia kemudian mampir ke masjid sebelum akhirnya membeli minum di minimarket yang ada di samping masjid tersebut. Ia kemudian menelpon Shofia, mencurahkan segala isi pikirannya dan apa yang terjadi hari ini dengan ibunya. Ya, Shofia adalah satu-satunya teman yang tahu persis bagaimana rusaknya kehidupan Naya.
Dialah yang membantu Naya untuk tetap menaruh harapan akan hidup setelah kejadian pelecehan pada saat Naya masih duduk di bangku SMP yang benar-benar membuat Naya ingin bunuh diri, karena Shofia sesungguhnya adalah juga penyintas akan kejadian yang sama. Memang sulit. Namun, menyerah adalah sebuah pilihan yang sama saja membunuhnya. Meskipun trauma itu tidak benar-benar hilang, tetapi setidaknya Naya tidak kehilangan harapan atas hidupnya.
Setelah selesai menelpon Shofia, mendapatkan beberapa saran dan nasihat dari Shofia. Naya memutuskan kembali ke rumah Nenek. Ia naik bus ke arah alamat rumah Nenek. Ia bermalam di situ sambil curhat dan melimpahkan segala isi hatinya kepada Nenek. Nenek memahami maksud Naya, tetapi Nenek juga menasehati bahwa semua perlu waktu dan kesabaran. Itulah kali pertama Naya bersimbah air mata di pelukan Nenek.
“Sering-seringlah ke sini ya, Nduk, masih ada Nenek di sini. Nenek akan membantu maksud dan tujuanmu. Tapi, janji kepada Nenek bahwa kau harus jadi perempuan yang berprinsip seperti almarhum ayahmu, ya,” ucap Nenek. “Itu ada keripik pisangnya sudah jadi, makanlah. Bungkus juga, bagi ke temanmu di kampus. Nenek mau istirahat dulu. Naya juga cepat-cepat istirahat, jangan begadang. Besok pagi harus segera berangkat, kan?”
“Iya, Nek, Naya akan segera tidur selepas ini.”
Fajar telah terbit, pagi benar-benar telah tampak. Sangat cepat.
“Nek, sarapannya sudah Naya makan. Naya mau pamit berangkat dulu ke kampus, ya.” Naya berpamitan sambil mencium tangan dan kedua pipi nenek. “Sehat-sehat, ya, Nek. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam, Nduk. Hati-hati di jalan.”
Naya berjalan menyusuri sawah untuk menunggu bus tujuan Surabaya. Kebetulan sekali makam almarhum ayah Naya cukup dekat dengan terminal tempat Naya menunggu bus datang. Ia menyempatkan untuk menjenguk tempat tinggal terakhir ayahnya itu. Ia menabur bunga sambil memberikan doa.
Biasanya Naya selalu menyempatkan untuk curhat meluapkan segala isi hatinya di depan makam Ayah, memberikan isak tangisnya kepadanya, tapi karena waktunya tidak memungkinkan dan ia harus tiba di kampus sebelum zuhur. Naya kemudian mengganti curhatannya dengan meletakkan surat yang sudah ditulisnya semalam di atas tanah makam ayahnya. Setidaknya agar ayahbapnya juga dapat memahami isi hati dan suasana pikirannya. Sebelum nanti ia benar-benar melakukan sesuatu untuk ibunda tercintanya. Naya ingin hidup yang lebih berhak.
Yang terhormat, Ayahku…
Akhirnya aku bisa menuliskan suratku untukmu. Setidaknya dengan bunyi pikiran di kepalaku dan desir perasaan di hatiku, bahwa di suatu tempat itu, kau dapat mendengar kegusaran batinku.
Aku telah menemukan kebenaran demi kebenaran yang mulai menyingkapkan wajahnya. Dan, ini sangat mengganggu jiwaku, Ayah.
Aku telah melihat hancurnya jiwa manusia. Aku pun juga mengalaminya. Di luar sana, begitu banyak kehidupan yang rusak, betapa banyak penderitaan dan segenap rasa amarah yang berhasil memberi jalan bagi racun dari duka yang mendalam sampai satu kejahatan menjadi semakin berkembang biak.
Aku selalu ingin percaya bahwa manusia itu rasional dan beradab. Keberadaanku pun bergantung pada harapan tersebut. Pada ketertiban, metode dan jalan dari sebuah pikiran. Namun sekarang, aku seperti benar-benar diminta untuk mendengarkan suara hatiku.
Aku memahami bahwa keadilan tidak selalu dapat ditimbang secara adil. Begitu juga dengan kebenaran, penderitaan dan rasa sakit. Aku harus belajar, untuk sekali lagi, dan mungkin akan berulang-ulang kali, menerima segala jenis bentuk ketidakseimbangan. Tidak ada yang bersalah, seperti juga tidak ada yang perlu disesali dan tidak ada pula yang mesti dihakimi. Hanya ada orang-orang yang sedang berjuang mendapatkan kesempatan untuk pulih. Semua orang berhak untuk bebas.
Ayah, aku akan meninggalkan gerbong kereta ini untuk mengakhiri sebuah formalitas. Tetapi, aku tidak akan pernah bergerak dari prinsipku. Aku juga tidak akan pernah menyerah. Semoga kau di sana menemukan kedamaian. Semoga kita semua menemukannya.”
Salamku
Naya []
Karya : Ahmad M Thohari