Source: https://lampungpost.id/karikatur/waspadai-politik-uang/
Belakangan ini ramai kembali terdengar di media sosial maupun platform berita terkait istilah “Serangan Fajar”. Istilah ini kembali hangat dan ramai diperbincangkan seiring dengan semakin dekatnya pagelaran Pemilu (Pemilihan Umum) yang telah dijadwalkan terselenggara pada tanggal 14 februari 2024 lalu. Serangan Fajar bukanlah istilah yang baru kemarin muncul, istilah itu sudah dikenal sejak era runtuhnya orde baru, tepatnya pada Tahun 1999. Semenjak itu juga topik ini tidak pernah absen untuk turut meramaikan hangatnya suasana politik menjelang diselenggarakannya Pemilu.
Menurut website resmi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), “Serangan fajar” bisa dipahami sebagai pemberian uang, barang, jasa atau materi lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di tahun politik atau saat kampanye menjelang pemilu. Lebih jelasnya, Serangan Fajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk politik uang dalam rangka “Membeli Suara” yang dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Tujuan utama dari praktik ini adalah untuk memenangkan calon yang bakal menduduki posisi sebagai pemimpin legislatif dan eksekutif, baik dari partai politik maupun independen calon.
Politik uang memiliki payung hukumnya sendiri dalam Undang Undang. Peserta Pemilu yang kedapatan melakukan praktik serangan fajar ataupun tindakan lain yang termasuk kedalam praktik politik uang, dapat dijerat dengan pasal 515 Undang Undang Pemilu yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000”.
Disebutkan pula dalam pasal 523 ayat 1 sampai 3 undang undang pemilu, diantaranya adalah ayat satu yang berbunyi : “Setiap Pelaksana, Peserta, dan atau Tim yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat 1 huruf (j) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 24.000.000”. Selain dua pasal diatas, terdapat beberapa pasal lain yang juga mengatur tentang kecurangan pemilu.
Tingkat keterlibatan calon pemilih dalam praktik kecurangan serangan fajar di Indonesia telah mencapai angka yang cukup besar dalam 2 pemilu terakhir. Hal tersebut dibuktikan oleh Burhanuddin Muhtadi, Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan tingkat politik uang terbesar di dunia. Data itu diungkap dari riset yang dikerjakannya selama pemilu tahun 2014 dan 2019, hasilnya sekitar 33% atau 62 Juta dari total 187 juta pemilih yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) terlibat praktik vote buying atau jual beli suara.
Data tentang suburnya praktik serangan fajar dan politik uang di atas juga diperkuat oleh survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada tahun 2019. Hasil Survei tersebut menyatakan bahwa sebanyak 48% masyarakat beranggapan politik uang adalah hal yang sudah biasa dalam kontestasi pemilu di Indonesia. Kenyataan tentang hal ini tentu sangat memprihatinkan mengingat politik uang yang notabenenya merupakan tindak kecurangan dalam pemilu, dianggap oleh hampir setengah masyarakat peserta pemilu sebagai hal yang sudah biasa atau wajar terjadi.
Sebagai sebuah tindak kecurangan, praktik Serangan Fajar dapat berakibat buruk bagi masyarakat maupun demokrasi di Negara ini. Apabila calon legislatif (caleg) yang melakukan Serangan Fajar pada akhirnya menang, maka akan berpotensi besar menghasilkan sosok pemimpin yang pragmatis, tidak berintegritas, tidak memiliki visi misi yang jelas bahkan besar kemungkinan melakukan korupsi dan banyak lagi dampak buruknya. Walaupun telah memiliki payung hukum sebagai senjata untuk menjerat pelaku serangan fajar, tapi bagaimana bisa praktik ini tetap dapat tumbuh subur di setiap masa kontestasi pemilu tiba?
Praktik politik uang di Indonesia termasuk serangan fajar dapat membudaya karena kurangnya pemahaman masyarakat kita tentang batasan-batasan yang mengatur serta bahaya yang ditimbulkan dari praktik serangan fajar ini. Selain itu sistem hukum yang tidak cukup tegas dalam menangani politik uang juga menjadi salah satu faktornya. Diperlukan upaya edukasi terhadap calon pemilih agar masyarakat lebih mampu mengidentifikasi dan menolak praktik politik uang, termasuk disini adalah serangan fajar.
Faktor-faktor lain yang mendukung praktik kecurangan ini meliputi keinginan caleg untuk menang tanpa memiliki program yang jelas dan budaya di Indonesia dimana masyarakat kita menganggap menolak pemberian orang lain itu adalah perbuatan yang tidak pantas. Selain itu, rendahnya tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat juga memicu banyaknya penerima serangan fajar yang menganggapnya sebagai rezeki dari Tuhan, tanpa mempertimbangkan tentang asal muasal uang yang diterimanya tersebut.
Untuk mengurangi praktik serangan fajar, terdapat upaya yang dapat dilakukan meliputi strategi jangka panjang dan jangka pendek. Solusi jangka panjang mencakup strategi budaya dan integrasi materi politik uang dalam kurikulum sekolah. Sementara itu, langkah jangka pendek termasuk pengawasan ketat oleh Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), partisipasi aktif pemilih serta pengawasan antar peserta pemilu. Upaya lainnya seperti pembangunan partai politik yang berintegritas, edukasi politik yang lebih luas dan tindakan yang lebih tegas terhadap pelaku politik uang sesuai dengan hukum yang berlaku.
Penulis: Virgiawan
Editor: Atik Ermawati