Reformasi Hanya Mitos?

  • By locus
  • Maret 24, 2025
  • 0
  • 145 Views

Sumber: Instagram @Sumaui

 

 

Statement “Orba gak pernah mati, karena reformasi gak pernah lahir” yang digaungkan lewat sejumlah poster oleh demonstran #IndonesiaGelap beberapa waktu lalu, membuka perspektif lain dalam melihat peristiwa reformasi. Pramoedya Ananta Toer pernah ditanya soal tanggapannya terkait peristiwa reformasi ini. Menurutnya, reformasi ini adalah sandiwara saja karena kuku-kuku Soeharto masih kuat mencengkeram baik itu di keluarga, istana, bahkan negara.

Ini berbeda dengan revolusi 1965 dimana pada saat itu, kuku-kuku tangan kiri Sukarno dicabuti paksa oleh tentara. Orang-orang yang dekat dengan Sukarno dibunuh dan dipenjarakan, jajaran pemerintahan dibersihkan dari unsur-unsur “kiri”. Bahkan sampai orang-orang yang dituduh golongan kiri pun turut dibasmi, padahal bisa saja mereka yang dibunuh adalah petani dan buruh biasa yang tak tau apa-apa. Indonesia benar benar “dibersihkan” dari komunisme. Hasilnya adalah genosida yang menelan jutaan korban jiwa, jalan berdarah yang ditempuh Soeharto dalam meraih tampuk kekuasaan. Ini berbeda dengan reformasi, diksi ini tidak seradikal revolusi. Oleh karena itu, unsur-unsur Soeharto dan Orde Baru tidaklah hilang dan bahkan masih mengakar dalam pemerintahan pasca reformasi.

Untuk melihat buktinya, mari kita tilik kembali realitas yang terjadi belakangan mulai dari akhir kepemimpinan Joko Widodo. Walaupun pada awal masa jabatannya rakyat menaruh harapan besar atas cita-cita reformasi, akan tetapi kasus-kasus dan kebijakan yang sus dan kontroversial pada akhir kepemimpinan memupuskan harapan itu. Mulai dari kebijakan omnibus law yang merugikan buruh, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang melemahkan lembaga itu sendiri, penggalakan PSM (Pekerja Sosial Masyarakat) yang berujung pada konflik agraria dan pelanggan Hak Asasi Manusia (HAM), usaha pembatasan kebebasan Pers lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, persoalan kasus-kasus pelanggan HAM di masa lampau yang tak terselesaikan, dan ketergopohan proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang menjadi kontroversi.

Puncaknya, saat masa-masa menjelang Pemilihan Presiden alias pilpres 2024, Jokowi melakukan  cawe-cawe dan mengobrak-abrik konstitusi dengan tujuan meloloskan putranya, Gibran untuk dapat maju sebagai kandidat calon wakil presiden dibantu oleh Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) sendiri yang merupakan pamannya. Rakyat tau, rakyat marah, tapi apalah daya. Politik dinasti yang begitu telanjang ini tentu membawa kemunduran bagi cita-cita reformasi. Bukti bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme tumbuh begitu subur di era ini.

Selain itu, di akhir kepemimpinannya, presiden yang pada awalnya lekat dengan citra “Wong Cilik” itu semakin dekat dengan oligarki, kedekatan ini tentu sedikit banyak memengaruhi kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dengan kepentingan/pesanan “mereka”. Mungkin itu cara Jokowi membalas budi kepada para oligarki tersebut, karena jika bukan karena bantuan mereka mungkin Jokowi tidak akan bisa sampai pada titik ini. Penasaran dengan siapa oligarki ini? Yang pasti, beberapa dari mereka masih punya keterkaitan dengan kerajaan Soeharto dan Orde baru di masa lampau.

Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat, menyebut dalam salah satu episode Bocor Alus Politik bahwa era Jokowi ini adalah masa dimana demokrasi mundur dan cita-cita reformasi hancur. Dari yang sudah saya jabarkan di atas tentu tampak jelas dosa-dosa dan kezaliman rezim Jokowi yang mendukung pernyataan tersebut. Bahkan dalam majalah edisi khususnya, Tempo menguraikan “Nawadosa Jokowi“ dengan 18 daftar dosa-dosa yang dilakukan oleh Jokowi selama satu dekade memimpin.

Usaha Jokowi melakukan cawe-cawe kemudian berhasil. Pada penghujung tahun 2024, rakyat menyambut Prabowo Subianto & Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden & wakil presiden baru yang akan memimpin Indonesia selama 4 tahun kedepan. Mantan Komandan Jenderal Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) sekaligus menantu Soeharto ini mengawali kepemimpinan dengan sejumlah permasalahan yang muncul. Tanggungan utang negara sebanyak 8000-an triliun yang jatuh tempo, realisasi program makan siang bergizi, belum lagi ihwal “balas budi” dan proyek IKN yang mangkrak. Dalam kondisi itu, Prabowo harus menghadapi kenyataan bahwa negara sedang mengalami defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan ancaman resesi. Hal tersebut sedikit banyak memengaruhi kebijakan Efisiensi Anggaran yang berujung pada kritik dan penolakan dari masyarakat lewat aksi “Indonesia Gelap”.

Sederet kontroversi lain muncul: Danantara, Megakorupsi Pertamina, Food Estate, kabinet gemuk, coretax system, dan yang terbaru perihal Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dalam artikelnya menyebut awal kepemimpinan Prabowo sebagai impunitas dan bersambungnya derita satu dekade kegagalan Jokowi. Demokrasi dan cita-cita reformasi semakin hancur dengan disahkannya RUU TNI. Tidak hanya menjadi potensi atas kembalinya dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) layaknya era Orba, lebih berbahaya daripada itu—Multifungsi TNI. Kini militer tidak hanya sebagai alat pertahanan, namun juga merupakan instrumen politik, ekonomi, bahkan birokrasi. Hal ini tentu semakin menjauhkan Indonesia dari sistem meritokrasi dan mendekatkan kepada militerisme.

Kembali ke pernyataan Pram di awal, realita sekarang yang kita sebut sebagai demokrasi, hanya merupakan sandiwara yang dimainkan oleh aktor-aktor politik warisan Orde Baru yang berkuasa. Peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini bak membuka tirai panggung pertunjukan yang menampakkan wajah asli dari sistem, yang selama 27 tahun ini kita yakini sebagai “harapan”. Sebagai penutup, Pramoedya Ananta Toer pernah ditanya mengenai reformasi.

Kata Pram, “Reformasi berhasil melahirkan pembesar, namun gagal melahirkan pemimpin“.

 

Penulis:Virgiawan

Editor: Abril

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.