Akhir-akhir ini, isu tentang mental health atau kesehatan mental sedang banyak dilirik terutama oleh anak-anak muda. Mulai banyak obrolan dan diskusi terutama di sosial media seperti Twitter mengenai hal ini. Generasi Z nampaknya mulai lebih sadar tentang self awareness yang merupakan kesadaran diri untuk lebih memperhatikan diri sendiri.
Salah satu cara untuk self awareness adalah dengan mengenali bagaimana kondisi kesehatan mental kita. Misalkan dengan lebih memperhatikan sebab mengapa kita menjadi mudah stres, mengapa kita terus merasa sedih ataupun perasaan lain yang membuat aktivitas sehari-hari menjadi terganggu dan menyebabkan kinerja menurun. Kita tidak tahu mengapa sampai mengalami dan merasakan hal tersebut, namun juga terlalu malu untuk mengakui bahwa ada yang salah dalam diri kita. Seharusnya, untuk hal-hal seperti ini kita tidak perlu takut ataupun malu untuk mengaku. Tetapi, terkadang ada banyak faktor yang membuat kita jadi tidak terbuka. Apalagi isu tentang kesehatan mental di Indonesia masih dianggap remeh.
Kesehatan Mental dalam Perspektif Masyarakat Indonesia
Kesehatan mental sangatlah penting dan harus dijaga seperti kita menjaga kesehatan fisik karena memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari. Dr. Brock Chisholm mengatakan “Without mental health there can be not true physical health” yang bermakna tanpa kesehatan mental, kita tidak akan mendapatkan kesehatan fisik yang sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan mind-body connection dimana kesehatan fisik dan mental saling memengaruhi satu sama lain, baik secara positif maupun negatif.
Selain itu, kesehatan mental juga berkaitan dengan kehidupan sosial. Seseorang yang memiliki gangguan kesehatan mental cenderung mengalami masalah dalam kehidupan sosialnya. Sebaliknya, kehidupan sosial juga berpengaruh pada kesehatan mental. Lingkungan sosial yang positif cenderung akan membentuk pribadi yang positif. Hal ini selaras dengan teori Attachment Style yang menganggap bahwa seseorang bisa menjadi pribadi yang positif atau kebalikannya, tergantung dari pola asuh yang dialami saat kecil.
Lantas di Indonesia sendiri, bagaimana pandangan masyarakat mengenai hal ini? Apakah sudah muncul kesadaran untuk lebih memerhatikan kesehatan mental?
Seperti yang disinggung di awal, isu kesehatan mental baru menjadi sebuah tren akhir-akhir ini, itu pun kebanyakan yang menggaungkannya adalah anak-anak muda. Lalu, kemana saja perhatian masyarakat selama ini? Mengapa isu kesehatan mental seakan tidak dianggap serius?
Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat yang masih menganggap tabu masalah kesehatan mental. Banyak stigma yang muncul di tengah masyarakat yang seakan-akan mengucilkan, labelling serta memberi stereotype buruk terhadap pengidap gangguan kesehatan mental sehingga kebanyakan dari mereka memilih bungkam dan menghindar untuk berkonsultasi dengan ahli. Data dari Riskesdas tahun 2018 mencatat bahwa 12 juta penduduk berusia 15 tahun keatas mengalami depresi dan 19 juta penduduk usia 15 tahun keatas mengalami gangguan mental emosional.
Minimnya pengetahuan masyarakat dan masih kuatnya nilai-nilai tradisi, budaya dan kepercayaan membuat terbentuknya penilaian negatif terhadap pengidap gangguan kesehatan mental. Masyarakat lebih senang mengaitkan masalah ini dengan hal-hal supernatural dan takhayul. Inilah yang menjadi alasan mengapa para pengidap gangguan kesehatan mental menganggap gangguan yang dialaminya adalah sebuah aib.
Selain itu, akses terhadap fasilitas kesehatan mental di Indonesia juga masih sulit dan belum merata. Kementerian Kesehatan memprediksi setidaknya 90% orang yang mengalami gangguan kesehatan mental tidak mendapat akses terhadap perawatan yang memadai.
Kesehatan Mental Remaja Selama Pandemi
Tak dapat dipungkiri, masa pandemi Covid-19 terasa sulit dihadapi, terutama bagi kita para remaja. Begitu banyak hal yang berubah dalam sekejap, seperti kegiatan pembelajaran yang berubah menjadi daring, intensitas bersosialisasi dengan teman sebaya yang berkurang, dan masih banyak perubahan-perubahan lain.
Data dari UNICEF, memasuki tahun ketiga pandemi ini, kesehatan dan kesejahteraan mental anak-anak dan remaja terus memburuk. Sekitar 1,6 miliar anak terdampak oleh terhentinya proses belajar mengajar. Muncul juga gangguan-gangguan terhadap rutinitas, pendidikan, rekreasi, serta kecemasan seputar keuangan keluarga dan kesehatan yang membuat banyak remaja menjadi takut, marah, sekaligus khawatir akan masa depan mereka.
Keluarga, sebagai orang terdekat dan yang paling mengenal kepribadian seorang anak seharusnya bisa lebih memerhatikan tentang kondisi anak di rumah. Rangkul mereka, ajak mereka berdiskusi terkait apa saja yang mereka rasakan selama ini. Dengarkan masalah mereka dan berikanlah masukan-masukan yang dapat memotivasi.
Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah aib yang perlu ditutupi dan ditakuti. Bila kita menghadapi sebuah permasalahan yang terlalu berat, setidaknya berbagilah cerita dengan orang-orang terdekat. Apabila dirasa sudah semakin mengganggu aktivitas sehari-hari, jangan pernah merasa takut untuk berkonsultasi secara langsung dengan para ahli. Karena seperti sebuah gangguan fisik, gangguan mental pun perlu untuk diobati.
Oleh : Adinta Shafa Salsabila