Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual tidak akan pernah terjadi dan berjalan secara optimal jika tidak ada pewujudan perguruan tinggi yang responsif gender. Hal ini membuat delapan perguruan tinggi di antaranya, IAIN Metro, UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, IAIN Ponorogo, UIN Walisongo Semarang, UIN Raden Mas Said Surakarta, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, dan UNISNU Jepara yang menerbitkan buku Dokumen Operasionalisasi Indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender (PTRG). Acara peluncuran buku ini dilaksanakan di kampus UIN Raden Mas Said Surakarta pada hari Jumat (24/6/2023) dan turut dihadiri oleh perwakilan dari delapan kampus tersebut, akademisi & Komnas Perempuan, Kemenag, dan Deputi Menteri PPPA Bidang Kesetaraan Gender Kementrian PPPA.
Dokumen PTRG Penyerdehanaan dari Indikator Perguruan Tinggi Responsif Gender 2019
Sebelumnya, panduan indikator perguruan tinggi responsif gender pernah dikeluarkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2019. Namun, ada 8 perguruan tinggi melihat hal tersebut tidak cukup aplikatif karena realitas konteks PTKAI sangat beragam mulai dari sumber daya manusia, infrastrukstur, dan lainnya. Lalu Rumah Kitab bersama Aliansi melakukan resensi bersama-sama dan menghimpun pengalaman – pengalaman dari berbagai lembaha perguruan tinggi untuk membuat satu dokumen ini.
“Dokumen itu berasal dari pengalaman baik laki – laki dan perempuan semua adalah sebuah ilmu pengetahuan. Dokumen ini penting untuk perguruan tinggi sebagai produsen wacana yang nantinya bisa mempengaruhi kebijakan perguruan tinggi melalui akademisinya harus punya perspektif gender yang adil,” ujar Nur Hayati Aida, selaku direktur Rumah Kitab.
Dokumen PTRG sebagai Panduan PSGA dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Pencegahan kekerasan seksual tidak hanya dapat dilakukan dengan upaya adanya sosialisasi. Namun, secara sistematis dapat dilakukan dengan perbaikan perencanaan pada tata kelola, pengajaran, dan pendidikan untuk sarana sosialisasi. Penelitian bisa menjadi bagian menyebarluaskan tentang upaya pencegahan dan penanganan sampai bagaimana pengabdian menjadi satu bagian yang terintegrasi. Kemudian, aktivitas tidak bisa hanya selesai dengan akreditasi dari rektor kemudian ada ULT dan sebagainya.
Kemudian aliansi sepakat membuat panduan untuk menuntun PTKAI dan paham bahwa tugas PSGA dalam upaya melakukan banyak perintah yang diterima salah satunya kekerasan seksual. “Jangan sampai PSGA menjadi legisitor untuk pencegahan dan penanganan KS tetapi tidak memiliki power untuk penyelesaian masalah. PSGA membutuhkan panduan tentang tugas-tugasnya dan itu akan menjadi sebuah nilai positif yang bisa digunakan,” ujar Khasan Ubaidillah, selaku PSGA UIN Raden Mas Said Surakarta.
Tanggapan Akademisi dan Komnas Perempuan
Prof. Dr. Alimatul Qibtiyah sebagai akademisi dan Komnas Perempuan menanggapi bahwa dokumen ini menjadi mudah dicerna dan kaya pengalaman karena diambil dari pengalaman asli dari berbagai perguruan tinggi. Terdapat sembilan indikator untuk perguruan tinggi menjadi bagian PTRG, tetapi Aliansi menyederhanakannya menjadi empat yaitu kelembagaan, tridarma, tata Kelola & penganggaran responsive gender, dan budaya nirkekerasan terhadap laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, kurang menyoroti bagian PTRG sebagai bagian pergerakan perempuan di kampus yang mempunyai keunikan di dalam pergerakannya. Sedangkan d Indonesia pergerakan perempuan tetap melibatkan laki-laki.
“Selain itu, pengakuan secara spesifik tentang kerentanan perempuan pada indikator keempat kurang terhighlight sehingga masih netral bahwa pengakuan perempuan itu lebih rentan daripada laki – laki dalam persoalan kekerasan dan diskriminasi,” tambahnya.
Indikator Provinsi RPLA
Peran perguruan tinggi yang responsif gender, responsif dalam menangkap isu – isu yang berada di kampung – kampung sekitar perguruan tinggi itu berada. Menurut Lenny N. Rosalin, beliau dan rekan-rekannya menggarap dan melihat interfensi di 6 provinsi di desa-desa dengan tujuan menurunkan angka kematian ibu melahirkan, perkawinan anak, dan gizi buruk dan itu meningkat signifiakn selama dua tahun. Sinergi yang penting jika diwujudkan ada beberapa ukuran yang digunakan seperti indeks pembangunan manusia dan gender.
“Mengukur Pendidikan, Kesehatan, dan ekonomi. Kemenag sebagai pihak utama dalam menyukseskan Pendidikan. 12 tahun perubahan nya tidak berubah signifikan dan setiap tahun hanya bertambah 0,1. Ini tantangan kita juga bagaimana perguruan tinggi apakah melalui penelitian atau pengabdian masyarakatnya bisa juga mengambil peran disini,” ujar Lenny N. Rosalin, SE, MSc, Mfin (Deputi Menteri PPPA Bidang Kesetaraan Gender, Kementrian PPPA).
Selain itu, beliau menambahkan bahwa terdapat indeks pemberdayaan gender yang diukur dari politik, leadership, profesionalisme, dan ekonomi. Peran perguruan tinggi bisa mendukung di sini. Terakhir, indeks ketimpangan gender yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025 – 2045 Indonesia emas. Jadi, diukur angka kematian, angka keluarga berencana, angka perkawinan anak, partisipasi perempuan dalam parlemen, dan pendidikan penduduk. Peran kementrian agama, peran perguruan tinggi diukur ketenagakerjaan bagaimana itu bisa dicetak dari perguruan tinggi.
Strategi dari Kemenag
Kelembagaan PSGA dan lainnya sendiri membutuhkan regulasi di tingkat internal. Misalkan terdapat kasus kekerasan seksual yang berasal dari orang terdekat rektor hal ini membuat mahasiswa enggan untuk melapor karena statusnya mahasiswa dan takut berimbas pada nilainya. Kemudian banyak yang melapor Ketika sudah lulus dan ini menjadi PR bagi PSGA dan tentunya didukung oleh pihak rektorat. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Abdul Basit S.Pd.I dari Kementrian Agama.
“Beberapa kasus mahasiswa melapor saat sudah lulus dan ini masih banyak terjadi dan menjadi PR untuk PSGA dengan tentunya didukung oleh pihak lain seperti rektorat” ujarnya.
Beliau juga menambahkan bahwa perubahan itu tidak harus secara cepat asalkan ada peningkatan yang lebih baik. Terkait kelembagaan lebih baik lagi jika PSGA tidak hanya beroperasi di dalam kampus saja karena mengantisipasi banyaknya mahasiswa yang malu berkonsultasi di area kampus. Tetapi bisa dengan membuka jasa di luar kampus dengan membuka layanan jemput di rumah atau membuka ruko di luar kampus.
Reporter : Atik Erma, Pratika Avi
Editor : Aqil
Redpelon : Sasa