Oleh: Ahmad M Thohari
Aku ini layaknya “daun kering” yang gugur dari tangkai dahannya, lalu jatuh terbawa angin, melayang-melayang. Terbawa sapuan-sapuan ritmisnya. Mencari titik momentum untuk jatuh di mana kaki harus kuat berpijak setelahnya. Yang ketika berhenti di titik diberhentikannya diri ini, berkatalah aku di dalam hati: “yakinkah kuberdiri” dengan kondisi kesadaran “diamlah tanpa tepi”.
Terkadang memang sulit ditemukan sebuah keyakinan utuh sesaat ketika memijakkan kaki di atas bumi tempat berdiri menatap langit kehidupan, di dalam hati dan pikiran yang ada selalu saja mengambyang-ambyang tak karuan lalu lintas keraguannya.
Tetapi, sejenak kemudian kulanjutkan gumamku lagi di dalam hati itu kepada Sang Kekasih, “bolehkah aku, mendengar-Mu”. Mendengar suara Kekasih yang menuntunku berjalan kembali kepada-Nya. Mendengarkan suara Kekasih yang dipantulkan ke dalam firman-firman tertulis maupun yang tersirat di bentangan konstelasi alam semesta dalam kosmos Ilahi dan di bentangan cakrawala batin dalam diri manusia, supaya mengetahui hakiki ilaihi rajiun. Maka, aku beretorika “izin” kepada-Nya. Bukan untuk apa-apa. Itu hanya sebagai dialektika kemesraan pengabdian hidup seorang hamba kepada Tuhan-Nya.
Gumpalan rindu yang berujung cinta sangat mendalam telah “terkubur dalam emosi” tanpa bisa terkendali. Terus saja bergolak, seperti ‘cacing yang mencari air kelembaban’. Atau, seperti ‘ayam yang kehilangan induknya’, yang sewaktu-waktu kedinginan. Tubuhku bisa saja menggigil, kemudian sayup-sayup terdengar bising mengejar diri. Berlari “tanpa bisa sembunyi”, serta sungguh “aku dan nafasku” sangat-sangat “merindukan-Mu”.
Namun, selalu saja sebuah angan-angan “suci” yang melambung tinggi, bahkan untuk sebuah kebaikan diri, selalu saja terbentur dengan kenyataan pahit dan menyakitkan hati. Suratan takdir atas catatan realita kehidupan kerap kali tidak siap kuterima dengan lapang hati yang harusnya kusemayamkan di dalam batin semesta keikhlasan sejati.
Aku menyadari bahwa, aku hanyalah hamba yang dhoif di hadapan “wajah” agung kekuasaan-Nya. Bahkan benarkah aku ini adalah seorang “hamba”, sedang untuk lulus menjadi “manusia” tertatih-tatih aku menempuhnya. Akhirnya, “terpuruk ku di sini” sendirian berteman kebisuan bumi dan diamnya kata-kata luka, ditambah lagi lumpuh badan kaki yang kubanggakan ini agar bisa berdiri kembali, lantaran “teraniaya sepi” yang menyayati asa-asa serta harapan dalam lubuk hati.
‘Setiap biji nangka menyimpan cairan sebagai penawar getah yang dikeluarkannya’. Panas teriknya siang hari, tentulah dilengkapi adanya mentari yang selalu muncul dengan memancarkan cahayanya untuk menyebarkan energi kehidupan di bumi. Pekat dan gelapnya malam, dihamparkan bersamaan adanya semburat rembulan dan bintang-gemintang yang menghiasi langit, meski sesekali awan bercanda menutupi. Artinya, diturukannya atau diberikannya musibah serta kesulitan, diberikan pula solusi dan kemudahan secara bersamaan. Inna ma’al usri yusron.
Kala aku lumpuh di dalam sunyi yang sepi itu, terdengar bisikan semesta di dalam telinga batin yang menuntun bibir dan jiwaku mengucap: “dan kutahu pasti, Kau menemani”, bahkan tidak pernah habis dan tidak ada henti-hentinya mendatangi di “dalam hidupku” yang kemudian masuk lagi lebih dalam ke bilik tempatku memejamkan mata, ketika diri ini terpuruk untuk menghibur “kesendirianku”.
Sebab, selalu “teringat” dan akan terus-menerus “kuteringat” dalam perenungan bahkan candaan di setiap perjalanan dalam rangka menempuh perjuangan hidupku “pada janji-Mu” itu “kuterikat”. Yakni, janji suci akan kesaksian keesaan-Mu dalam muatan makna syahadatku, bahkan kesaksian ketika janin masih di dalam rahim Ibu, ruh -ku berkata: “Bala syahidna”, ketika Engkau bertanya dengan berucap: “Alastu birabbikum?”.
Lebih daripada itu, perumpaan perjuangan atas pengabdianku seolah “hanya sekejap” dan sangat singkat waktu “kuberdiri” menapaki dan mengembarai sirah kehidupan yang telah digariskan oleh Sang Maha Inti Kehidupan atasku. Tetapi, semuanya itu “kulakukan sepenuh hati” agar benar-benar jumbuh di hadapan-Nya, baik sekarang dan untuk kelak.
Melihat dengan hati, dan membaca melalui pikiran atas segala hal-hal kecil sampai ke potret fenomena kehidupan yang lebih besar sebagai bentuk upaya “peduli”, dan sebagai pengembaraan panjang “(A)ku peduli” terhadap hal pemberian sekaligus manifestasi kasih sayang yang Engkau hamparkan setiap saat, terlepas dari cengkeraman ruang dan waktu. Sekaligus meniti dengan teliti atas segala hal yang telah kulakukan, tentang nilai baik tidaknya, manfaat madhorotnya, untung-rugi dalam cakupan wilayah sosial serta pemetaan pelaksanaan amar maruf nahi munkar.
Juga terhadap “siang dan malam”, sebagai perumpaan dinamika kehidupan “yang berganti” dan yang penuh gelap-terangnya “wajah” kehidupan selama berada di dunia. Siang dan malam adalah salah satu pengejawantahan mizan yang Tuhan berikan untuk kehidupan manusia dan seluruh makhluk-Nya. “Siang” adalah ladang tempat manusia mencari karunia Tuhan, di mana manusia mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup pada selang hitungan waktu itu. Sedangkan, “malam” adalah selimut sebagai tempat manusia merebahkan tubuhnya untuk istirahat, sekaligus waktu yang sangat “intim” di mana manusia dibukakan pintu untuk mencari “nafkah-nafkah” dan “air-air” penyejuk batin-ruhani, serta mereguk stimulus spiritualitas kesucian Ilahi.
Dan, seberapun besar tindihan dan himpitan yang menimpa pundak ataupun punggung ini. Betapa berat dan membebaninya keadaan itu, hingga berujung pada keterpurukan yang mungkin sangat menyedihkan ataupun mengharukan hati. Tetapi “sedihku ini tak ada arti”, sama sekali tidak akan terasa meski membekas di dalam hati, meski tidak bisa hilang begitu saja seperti “air yang dengan gampang menghayutkan kotoran pergi’. Segalanya akan kalah dan tidak berarti, “jika Kau-lah sandaran hati”. Sebab, Engkaulah ‘hulu’ sekaligus ‘hilir’ mudiknya aliran kehidupan, Engkaulah ‘sangkan’ sekaligus ‘paran’ tujuan kehidupan diperjalankan, dan Engkaulah ‘awal’ sekaligus ‘akhir’ kehidupan ini diberlangsungkan.
Aku belajar memahami makna inti kehidupan, berangkat dari dialog pertanyaan Syaikh Jangkung: “Kenapa pertahanan tidak boleh (bisa) membalikkan serangan?” yang kemudian dijawab oleh Mas Kalong: “Karena hanya ada satu mata air kekuatan, dan hanya ada satu pula sumber ke mana segala kekuatan harus dikembalikan”. Maka, apapun yang terjadi hanya “Kau-lah sandaran hati”.
Terkadang, dalam lamunan di duduknya kesendirianku, ketika mungkin keadaan sedang terhimpit hal kesusahan yang begitu menyedihkan di dalam kehidupan dunia ini, sehingga sulit dirasa untuk bangun dan berdiri dari keadaan “duduk” disebabkan lumpuhnya kaki kehidupanku. Lalu, sadar tidak sadar bergumamlah jiwaku: “inikah yang Kau mau” atas perjuangan dan pengabdianku. Dan “benarkah ini jalan-Mu”, yaitu jalan berupa sabil, syari’, thariq dan bahkan shiratal-mustaqim. Sebab, “hanyalah Engkau yang kutuju”, tiada yang lain lagi selain tujuan itu. Sebagai perwujudan dari ikrarku setiap waktu ketika aku sejenak berdiri, lewat pernyataan kalimat “inna sholati wa-nusyuki, wa-mahyaya, wa-mamati lillahi-rabbil alamin.”
Manusia pun tidak bisa untuk tidak bertauhid. Maksudnya berjalan kembali, menyatu kembali guna bersama-sama lagi dengan Ilahi Rabbi. Bagaimana mungkin manusia tidak bertauhid, jika segala hal apapun saja yang diciptakan di dunia ini, pada akhirnya akan dikembalikan lagi kepada-Nya. Perjalanan tauhid adalah perjalanan yang ditempuh dengan “meniadakan diri”, sebab yang benar-benar Sejati hanyalah Allah itu sendiri. Di mana dituntut tersedianya mutu keikhlasan terbaik dalam pelaksanaannya mengarungi bahtera untuk perjalanan suci itu. Itulah mengapa, surah dalam Al-Quran yang membahas inti makna tauhid disebut atau dinamai dengan “Al-Ikhlas”.
Ya Rabbana, Kekasih dalam cahaya di atas cahaya, aku mohon kepada-Mu “pegang erat tanganku” dan jangan pernah Engkau lepaskan barang satu detik pun. Kemudian “bimbing langkah kakiku” pula, sebab akan carut-marut dan bisa-bisa “aku hilang arah” tak karuan kehidupanku, jika Engkau mentelantarkan diriku di tengah-tengah sibuknya lalu-lintas mainstream dunia modern, di dalam aliran arus gelombang globalisasi dan segala terpaan angin materialisme yang membodohkan diri.
“Tanpa hadir-Mu” sama sekali, apa yang bisa kulakukan wahai, Kekasih?
Biarkan sepi dan sunyi diri ini “dalam gelapnya malam hariku”, campakkanlah aku ke dalam kubangan kesunyian dan kesepian yang membuka mata hati dan pikiran itu saja, Kekasih. Tetapi Engkau senantiasa hadir untuk menemani dan menghibur diri yang kecil ini. Daripada Engkau selipkan diriku diantara riuh-rendah suara kebisingan sibuknya manusia mencari kepuasan-kepuasan dan kebahagiaan yang semu di kota-kota yang sebenarnya mati secara nilai, dan Engkau sama sekali tidak ada di sana. Menangis darahku. []