Menulis Sekadar Menulis!

  • By locus
  • Oktober 13, 2020
  • 0
  • 226 Views

Beberapa hari lalu, ketika saya selesai men-share tulisanke blog pribadi saya, teman saya berkomentar, bahwa kata-kata yang ada ditulisan tersebut sungguh sulit dicerna secara sederhana. Dari sini saya mencoba memahami suatu hal dan memang demikianlah, apabila kita hendak membaca sesuatu haruslah dengan kesediaan “mata rangkap” sekaligus jernih supaya dapat menangkap maksud dari “maksud yang tidak dimaksudkan”. Artinya, selain mencoba memahami sesuatu yang tersurat, orang harus cerdas dan cermat pula dengan sesuatu yang tersirat.

Tapi saya di situ, sama sekali tidak mengambil pusing. Sebab saya menulis itu karena memang murni berangkat dari diri saya sendiri. Maka, ketika tulisan saya itu saya share, saya bebaskan sendiri diri saya dari segala hal yang pada akhirnya membingungkan pembaca. Saya hanya sekadar menulis apa saja pikiran yang ada di kepala saya, sehingga saya menulis itu sama sekali hanya mengalir seperti didikte oleh pikiran saya sendiri. Jadi, Anda juga tidak usah ambil pusing. Saya pun yakin bahwa semua tulisan saya pasti tak akan masuk kategori genre atau dipersilahkan untuk bertempat di rak buku-buku apapun. Sebab itulah, sebisa mungkin akan saya buat sendiri rak atau tempat untuk tulisan-tulisan saya. Karena itu juga saya membuat blog pribadi. Tetapi ketika menulis, tetap saya tentu masih memperhatikan dan menerapkan etika-etika dalam kepenulisan supaya bisa nyambung dan sinkron narasi-narasi kalimat yang saya buat, meskipun tertatih-tatih dan terlunta-lunta.

Saya bebaskan juga para pembaca hendak membaca tulisan saya atau tidak. Mau mendalaminya atau tidak. Bahkan, mau mencernanya atau tidak. Dan sebagianya, dan sebagainya lagi.

Toh, saya sendiri pada saat selesai menulis dan membaca tulisan saya, betapa saya malu dan tertawa sendiri membacanya, bahkan saya kutuk-kutuk sendiri itu tulisan. Maka, tiada pamrih apa-apa ketika saya men-share tulisan. Kalaupun tulisan itu saya ­share, mungkinbarangkali ada hal bermanfaat yang dapat diambil. Meskipun harus saya sadari pula bahwa tulisan saya berpotensi juga menggagal-pahamkan atau bahkan menjeremus dan menyesatkan para pembaca.

Akan tetapi, saya harap pembaca tetap mencerdasinya sedemikian rupa. Saya buka lebar pintu kritik dan saran, bahkan hujatan sekalipun terhadap tulisan saya. Memang tak bisa dipungkiri apabila tetap ada semacam “tamak” di dalam diri saya sendiri ketika saya coba men-share tulisan saya itu agar bisa dibaca pembaca, minimal oleh teman saya sendiri. Pada saat lain hal itu saya sadari pula seolah saya ini adalah seorang yang penting, yang punya kredibilitas keilmuan, yang mumpuni dan kompeten dalam hal tulis-penulis sehingga perlu orang untuk membaca tulisan-tulisan yang telah selesai saya tulis. Padahal saya ini sama sekali tidak memenuhi syarat untuk itu semua. Jangankan itu, mengolah kata supaya menjadi satu kalimat utuh yang bermakna saja, betapa saya sangat kesulitan.

Maka jangan sekali percaya kepada saya, pun kepada isi dari tulisan saya. Kalau misalnya Anda kok bersedia mau membaca tulisan saya, jangan sekali-kali pula berhenti pada tulisan saya tersebut. Maksud saya, Anda harus melompat ke wilayah argumentasi keilmuan yang lebih jauh, yang lebih logis, lebih konkret serta merujuk pula kepada aksioma-aksioma yang berkoherensi dan berkorespodensi dengan realitas kehidupan yang Anda libati. Jadikan saja tulisan saya itu semacam pintu masuk untuk nantinya Anda masuki sebuah fakta dan data-data wawasan yang jauh lebih dapat dipertanggungjawaban keabsahannya, baik secara ilmu dan pengalaman hidup.

Ketika saya men-share tulisan saya ke media sosial, misalnya, agar dapat dibaca banyak orang atau teman-teman sekalian. Tidak jarang saya itu merasa geli sendiri. Bayangkan saja, jangankan tulisan saya yang begitu receh itu kok sampai berharap banyak bisa dibaca para pembaca, sedangkan Kitab Suci yang memuat firman-firman Tuhan saja sangat jarang tersentuh tangan manusia, apalagi sampai dibaca dan bahkan didalami maknanya.

Kadang saya ini juga merasa malu, dan pekéwuh sama Tuhan itu sendiri. Tidak jarang pula, ketika saya selesai menulis dan hendak mempublikasikan tulisan saya. Tiba-tiba kesadaran alam bawah sadar saya merasakan seperti ada suara malaikat yang mengejek saya dengan berkata: “Gaya dan tampangmu sepertinya hendak membagikan tulisan itu supaya dapat dibaca banyak orang, kamu itu terlalu GR, wong perkataan Nabi-nabi dan ayat-ayat Tuhan itu saja lebih sering diabaikan, apalagi sekadar tulisanmu.”

Saya mencoba membantah nakal, “loh, tapi kan ada orang-orang yang tidak percaya Tuhan, apalagi Nabi-nabi.”

Malaikat tak kalah cerdiknya, “memangnya tulisanmu itu memenuhi kriteria, hingga perlu orang-orang semacam itu membaca tulisanmu?”

Otomatis saya langsung diam seribu bahasa. Meski aslinya tak sampai seribu saya ini paham akan bahasa.

***

Saya sering sekali menghibur diri saya semacam itu, ketika setiap kali saya kalah lomba atau ketika saya mencoba mengirim tulisan ke media massa, misalnya, yang akhirnya ditolak muat. Sebab memang tak akan mungkin tulisan saya itu memenuhi syarat dan lolos ketentuan-ketentuan pemuatan yang berlaku secara umum.

Pun ketika kali pertama tulisan saya itu mendapatkan apresiasi dengan nomor juara. Saya sangat meyakini pasti juri telah keliru melihat dan menilai tulisan saya, sehingga mengharuskan tulisan saya itu masuk dalam kategori juara.

Maka, saya menulis itu jangan sampai ada beban apapun. Ketika teman saya mengklaim dengan berkata kepada saya, bahwa saya ini seolah terlalu sibuk berkarya—maksudnya menulis—lantaran saya jarang muncul di grub. Tidaklah demikian. Itu bukan kesibukan, sekaligus itu bukanlah sebuah hal yang bernilai karya bagi saya. Sebab kalau saya sibuk, berarti saya membebani diri saya sendiri, dong! Jadi, saya jawab kepada teman saya tersebut bahwasannya itu hanya semacam seperti sekadar ketika saya itu butuh makan. Menulisnya saya adalah demi kebutuhan saya itu. Artinya, tidak ada yang istimewa kemauan menulis atau apapun yang hubungannya dengan hal ihwal tulis menulis terhadap diri saya.

Bagai saya, menulis itu, ya menulis saja. Tanpa tendensi dan tujuan apa-apa. Meskipun terkadang memang jiwa manusia sesekali menariknya untuk berlaku dan ingin menghasilkan sesuatu yang berlebih. Dan saya sering berperang riuh di situ. Memang itu manusiawi. Bagi saya yang penting jangan sampai merugikan orang lain, apalagi diri sendiri.

Saya juga tidak bermaksud apa-apa dengan tulisan saya ini.

Bagi Anda yang mastah, kredibel, kompeten, mumpuni dan bersertifikasi dalam dunia tulis menulis, juga bagi Anda-anda yang hobi dan yang mulai maupun yang sedang belajar kepenulisan. Tetap lanjutkan kesibukan dan pekerjaan Anda tersebut. Pada akhirnya tidak ada tulisan yang tidak bagus. Kata orang, tulisan yang bagus adalah tulisan yang selesai. Kalau misalnya Anda mengikuti lomba atau apapun yang sejenisnya, dan juri tidak memilih tulisan Anda sebagai pemenang. Sama sekali tidak berarti tulisan Anda tidak bagus. Sebab posisi keputusannya bisa sangat spekulatif, subjektif dan relatif. Bahkan tidak jarang pula, juri tersebut buta terhadap dunia tulis-menulis, seperti halnya duta pancasila dulu malah dinobatkan kepada siapa. Ya, meskipun kemungkinannya untuk itu kecil, sih … []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.