Pertama-tama kita mesti menginsafi diri sendiri bahwa segala hal yang tidak mengenakkan dalam kehidupan yang sedang kita jalani ini: barangkali adalah akibat dari ulah kesalahan diri kita sendiri. Sebelum kemudian kita bareng-bareng menginsafi bangsa untuk hal yang entah bagaimana regulasi renungan dan kontemplasi yang mesti diberlangsungkan supaya bangsa yang berumur tiga perempat abad lebih empat tahun ini terbebas dari dosa-dosa kultural dan strukturalnya: sekurang-kurangnya ada defisit yang terjadi dengan dosa tersebut.
Namun, siapakah di tengah gonjang-ganjing demokrasi yang cukup membikin hati jengkel ini menyadari bahwa ada mekanisme pemerintahan bangsa yang keliru dijalankan hingga membuat paru-paru rakyat miskin kota dan miskin desa sesak nafas, misalnya? Tentulah, banyak elemen masyarakat yang menyadari itu. Akan tetapi, bagaimanakah pemerintah?
Rasa-rasanya cukup naif untuk tidak menuding ke muka pemerintah bahwa segala hal buruk yang sedang dialami bangsa ini adalah ulah pejabat-pejabat tertentu dengan para petarung bayarannya, misalnya, yang sukses mengacak-ngacak aturan konstitusi bangsa. Kendati begitu, tidakkah rakyat juga menyumbang tenaga dan doa untuk keadaan buruk ini, umpamanya? Mari bersama-sama kita renungkan.
Kelatahan kita sebagai warga bangsa kerap kali menjadi akar kultural untuk kondisi bangsa yang selalu saja buruk: susah maju. Sebagai civil society kita masih cukup latah—betapa pun kita punya akar tradisi kearifan yang cukup bisa dibanggakan: akhirnya hanya sekadar bisa dibanggakan. Dan, kelatahan itu semakin nampak sekali dalam tindak-tanduk pemerintah tatkala mengelola konstitusi bangsa. Hari ini roda demokrasi menggelinding begitu saja yang entah kemana arahnya. Juga sebagai contoh, bansos besar-besaran, misalnya, adalah representasi kelatahan paling kentara yang terjadi dalam wajah pemerintah dan rakyat. Tentu, masih banyak lagi.
Dalam keadaan darurat demikian ini dan itu, salah seorang tokoh bangsa pernah menulis demikian: “saya tidak mengatakan bahwa kualitas mental dan etika manusia bangsa kita dewasa ini cukup tahu diri dan bisa diubah oleh imbauan atau sindiran, tetapi manusia senantiasa butuh berzikir atau mengingat-ingat, bahwa benere wong akeh pun tidak selalu benar, apalagi benere dhewe yang sering dilakukan oleh mereka (yang) dumeh lan mumpung kuwoso. Sehingga betapa perlunya semua orang, institusi, serta sikap komponen kebangsaan kita meluangkan waktu untuk mencari bener sing sejati.”
Memang demikianlah kenyataannya, bahwa kita semua sesungguhnya sudah kebal sindirian. Bahkan, pemerintah pun sudah cukup sakti untuk tidak lagi mempan oleh peluru-peluru maupun panah-panah kritik—malah bisa membungkam dan meringkusnya. Saya tidak tahu pengamalan sakit hati macam apa yang sampai bisa membuat kita semua, khususnya pemerintah dan aparatus sipil negaranya, menjadi sangat bebal semacam itu. Adakah rakyat pernah berbuat jahat kepada mereka-mereka itu?
Beberapa pengamat bahkan mengatakan bangsa ini, dengan segala kerumitan problem dan kekacauan nilai moral, demokrasi dan konstitusinya, sedang mengalami “masa kegelapan” layaknya yang pernah terjadi di Eropa Barat, yang akan menjadi syarat bagi munculnya “masa keemasan”.
Satu hal yang masuk akal juga saya pikir, tetapi saya masih harap-harap cemas. Bagaimana tidak, jika kita mencoba mempelajari “Revolusi Saintifik” yang menjadi gerbang terbitnya “masa keemasan” di Eropa Barat, harus ada syarat yang cukup kontras di mana institusi keagamaan—diwakili oleh otoritas gereja—pada saat itu menjadi instrumen paling bebal sekaligus paling dominan untuk menjadi alasan bagi ada dan kokohnya berbagai jenis ketimpangan baik secara sosial, moral dan keilmuan.
Saya tidak tahu, apakah otoritas-otoritas keagaman milik bangsa kita akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh otoritas-otoritas keagamaan pada awal-awal abad 16 di Eropa Barat itu. Kita tunggu saja.
Hanya saja, respon masyarakat—khususnya para akademisi dan kaum cerdik-cendekiawan—mestilah harus pula melakukan apa yang dilakukan oleh Galileo-Galilei dan Bruno, misalnya, yang sungguh-sungguh berkomitmen dan konsisten dengan pembalikan nilai (ilmiah) dan cara pandang yang diilhami oleh Nicholas Copernicus, berkorban dengan segala konsekuensi etis dan moralnya. Tanpa itu, jangan pernah berharap bahwa ‘zaman pencerahan’ akan terbit.
Betapapun reformasi ’98—versi kecil dari semacam gerakan Revolusi Copernican—yang begitu agung pernah juga terjadi pada bangsa kita, toh, pada akhirnya banyak elemen-elemen penting masyarakat yang berkontribusi justru mengkhianati peristiwa agung nan suci tersebut: tidak menjaga secara setia komitmen nilai dari reformasi itu sendiri. Dalam konteks itu pula, kelatahan kita sesungguhnya juga nampak. Memang, godaan terbesar—yang kemudian menjadi kebiasaan banyak nyawa manusia—dalam hidup ini adalah berselingkuh. Sampai-sampai iblis pun muak sambil berkata, “dunia ini isinya penuh orang-orang selingkuh.” Mulai dari selingkuh nilai, jabatan, hingga prinsip hidup.
Seandainya satu di antara kita memiliki kapasitas keilmuan kaliber Khidir, tentulah akan terasa gampang untuk segera mengubah atau mengulang nasib sejarah masa depan bangsa agar tidak jadi lelucon: seperti dikatakan Marx, “sejarah selalu mengulang dirinya sendiri: pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon”. Sehingga, jika ada yang kelihatan berpikiran untuk membangun otoritariatisme politik bisa langsung saja kita penggal kepalanya. Jika ada yang nampak berusaha membangun dinasti kekuasaan bagi anak turunnya, bisa langsung kita robohkan rumah kekuasaannya. Juga, jika ada yang berusaha cawe-cawe dengan membikin perahu kekuasaan, bisa langsung kita tenggelamkan perahunya. Tanpa harus takut menanggung beban moral, divonis berdosa maupun melanggar hukum ketatanegaraan.
Akan tetapi, tentulah, mekanisme Khidir semacam itu tidak akan pernah ada lagi, ia hanya muncul sekali sepanjang hidup: sebagai sebuah pembelajaran sejarah dan tradisi bagi cara pandang ilmu manusia. Toh, jika pun ada, aturan hukum atau konstitusi mana yang secara tertulis maupun konvensi akan membenarkan tindakan semacam itu.
Kendati demikian, tidak menjadi masalah seandainya mekanisme Khidir mustahil bisa terjadi, atau kita lakukan. Karena sebagai manusia sesungguhnya, kita adalah kumpulan-kumpulan Musa, yang mesti memkompromikan diri, menyiapkan kematangan ilmu, dan menghimpun kekuatan kolektif untuk siap selalu berhadap-hadapan dengan segala bentuk kezaliman Fir’aun.
Oleh karena itu, mengulang apa yang saya sampaikan di awal tulisan ini, pertama-tama kita mesti menginsafi diri sendiri terlebih dahulu, untuk kemudian bareng-bareng menginsafi bangsa demi menghimpun kekuatan kolektif menghadapi kezaliman pemerintahan Fir’aun, baik saat ini, lusa, dan selama-lamanya. Marilah kita lakukan!
Penulis : Ahmad Miftahudin Thohari
Editor : Izza