Oleh : Nafa Shahamah ‘Izzatin Nafsi
“Semua perempuan akan cantik di mata laki-laki yang tepat.”
“Bullshit!”
Nyaris saja sebuah gawai mencium lantai berkat pemakainya yang memprotes keras pernyataan seorang presenter di video motivasi tentang kecantikan. Gadis itu justru termotivasi untuk membantai pemikiran munafik di video tersebut. Orang-orang yang dengan entengnya berkata jika semua wanita itu cantik di saat dirinya sendiri sudah menjadi cantik.
“Nafaaaaa, tolong beliin mama gula di warung ya!”
Anak gadis yang dipanggil itu berdecak. Dia merengek keras dari balik selimutnya, menolak memenuhi perintah. “Males ah Ma, takut! Di warung banyak cowok!”
“Lah? Takut? Nggak bakal ada yang berani godain kamu.”
“Iyalah! Aku kan jelek. Bukannya digodain, tapi malah dicemooh habis-habisan.”
Sang mama menatapnya tak percaya. Berpikir jika itu hanya alibi Nafa agar tidak keluar rumah. Anak gadis yang hanya menghabiskan waktunya di kamar mengurung diri. Menolak berinteraksi walau hanya pada tetangga sebelah rumahnya.
Namun, Nafa tak sekedar beralibi. Mamanya tak pernah merasakan badan gemetaran menahan takut dan malu ketika berhadapan dengan kaum adam. Apalagi kalau akhlaknya minus. Ceplas-ceplos mengatai bentuk badannya.
“Ciw, ada cewek, tuh.”
Langkah Nafa terhenti sejenak, melirik pada bapak-bapak berkumis yang duduk di depan warung. Benar dugaannya, banyak lelaki dengan berbagai usia sedang berkumpul di sana.
“Anaknya Bu Ani itu.”
“Jelek, ih. Nggak selera buat digodain,” celetuk remaja cowok yang sepertinya seumuran dengan Nafa. Kata-katanya sukses membuat Nafa tenggelam dalam rasa sakit. Dia memang tak nyaman digoda, tapi mendapat perlakuan body shaming seperti ini juga tak kalah menyakitkan.
“Dih, emangnya aku sudi digoda sama kamu? Amit-amit!”
“Bercanda, Fa.”
Nafa kembali melengos. Remaja itu sama sekali tak merasa bersalah. Senyum miringnya justru terlihat menyeringai.
“Nggak lucu, ya, Ko. Bawa-bawa fisik.”
“Dih, baperan! Emang situ jelek, dekil, gendut, item, jerawatan pula!” ceplos remaja bernama Riko itu yang sukses mengundang tawa semua orang di warung. Tidak ada yang membela, karena memang faktanya demikian.
Standar kecantikan warga lokal yang membuat setiap inci tubuh Nafa dikatakan jelek. Kulitnya cokelat itu karena faktor keturunan. Wajahnya jerawatan karena terlalu sensitif, asal mengobati bisa semakin besar tumbuh kembang si jerawat. Sedang tubuhnya berisi berkat porsi makannya yang besar untuk meluapkan stres. Fisik yang serba minus ini yang membuat Nafa tak pernah bangga dengan dirinya sendiri.
Gadis itu pun lantas menuntaskan misi dan segera kembali ke rumah. Ada hal lain yang harus dia lakukan selain mendekap di dalam rumah. Memenuhi tugasnya sebagai siswa.
“Tuh, liat. Orang jelek lewat.”
“Iya, aku jelek. Tapi, aku nggak pernah ganggu orang lain, ya! Percuma kalau good looking kalau bad attitude!”
Hari ini adalah kemajuan bagi seorang Karina Maladivas Nafa. Dia mampu mengatakan semua unek-uneknya pada pelaku perundungan.
Hari pun berganti, tepat di jam istirahat, pukul dua belas lebih lima menit, pada hari selasa, di kelas, menjadi waktu bersejarah perlawanan Nafa.
“Prtt! Hahaha!”
Nada tawa cemooh yang sama. Nafa sepertinya melakukan kesalahan. Mau dia melawan atau tidak, respon orang lain akan sama saja. Dan dia kembali tenggelam dalam rasa sakit di dalam hatinya. Hati yang hanya sekecil kacang kenari itu semakin mengerdil. Bersamaan dengan rasa percaya dirinya yang menguap.
“Ngaco banget, kamu! Jaman sekarang yang penting good looking, ya,” komentar Misella, teman satu kelasnya.
Ya, jaman sudah berubah. Keluar dari porosnya dan melupakan keadilan untuk semua orang. Orang-orang semacam Nafa yang tereliminasi dari standar kecantikan warga lokal tentunya tersingkir. Semua perbuatannya adalah kesalahan, termasuk menjadi jelek.
“Wajah hasil oplas aja bangga!” celetuk Nafa seenaknya. Mengarang sebenarnya, dia hanya tak tahu lagi harus berkata apa untuk keluar dari lingkaran perundungan ini.
“A-apa? Bagaimana kau tahu?”
Wajah pucat Misella mengejutkan bagi Nafa. Pemandangan baru, ini pertama kalinya dia bisa melihat ekspresi Misella selain ekspresi merendahkannya. Desas desus membumbung tinggi, angin berubah arah. Keadaan berpihak pada Nafa.
Nafa memahami situasi dengan cepat. Dia tersenyum, “Wah, segitunya pengen dibilang cantik, Sel? Atau malu nutupi wajahmu yang dulu sama jeleknya kayak aku?”
Wajah Misella memerah menahan amarah. “Berisik! Aku ini cantik, ya. Nggak kayak kamu yang jerawatan.”
“Eh, apa itu di wajahmu? Kayaknya jerawat juga, deh! Ampun gede banget jerawatnya!” heboh Nafa yang membuat Misella panik. Dia langsung memegangi muka dan mengeluarkan cermin.
“Ngibul! Wajahku masih mulus glowing gini dikatain ada jerawat.”
“Kenapa? Takut banget sama jerawat? Dulu kamu juga punya, kan? Kalian juga. Semua orang punya jerawat, terus kenapa harus mengolok-olok? Apa bagusnya mengatai jerawat orang lain?”
Atensi Nafa beralih pada kerumunan yang sejak awal terbentuk. Selalu hadir ketika Nafa menjadi korban perundungan. Entah hanya melihat saja, ikut tertawa, atau ikut menjadi pelaku sama seperti Misella. Orang-orang yang biasanya terus menyoraki keburikannya kini terdiam.
Mereka tahu, betapa menyakitkannya dikatai buruk oleh orang lain. Namun, mereka juga senang mengatai yang lain. Penderitaan orang lain dijadikan sebuah contoh, jika tak ingin bernasib yang sama, maka berubahlah. Ikuti kata ‘orang’, jangan melawan, dan jadilah sempurna.
Nafa menghela napas, “Jadi orang jelek bikin iri, ya?”
“Ngaco kamu! Mana ada orang iri sama yang jelek?” Misella kembali berucap.
“Terus, kalau bukan karena iri, ngapain kamu tiap hari gangguin aku, Sel? Biar kamu makin pede jadi orang cantik, gitu? Kata orang, kalau mau dibilang tinggi, harus deketan sama orang-orang pendek. Kamu gangguin aku yang jelek ini biar dibilang cantik. Secara gak sadar, kamu butuh aku biar cantik, kan? Kamu nggak bisa dipuji cantik hanya karena kekuatanmu sendiri. Kau lemah, Sel. Jauh lebih lemah daripada aku.”
Misella terdiam. Mungkin benar, dia merasa senang ketika menganggu Nafa. Namun, ada rasa lain ketika dia melakukannya. Rasa percaya dirinya meningkat. Dia butuh Nafa untuk mengatasi insecure dalam dirinya.
Ya, Misella lemah. Dia menjadi cantik bukan untuk dirinya sendiri. Dia sibuk membuktikan pada orang lain bahwa dia cantik. Misella mengorbankan apa saja untuk mengikuti standar masyarakat. Namun, di atas orang cantik masih ada orang cantik lainnya. Ujung perjuangan Misella tidak jelas. Semakin dikejar, justru semakin jauh.
“Meski begitu, aku tetap tidak akan memaafkanmu, Sel. Ucapan tanpa filter dari mulut busukmu itu yang membuatku terpuruk beruang kali. Apapun alasan dibaliknya, membully orang lain tetaplah salah.”
Tak ingin kehilangan kesempatan, Nafa lantas mengangkat kakinya tinggi. Menjatuhkan tepat pada atas sepatu Misella. Setelah mendengar suara rintihan dari Misella, Nafa langsung kabur dengan tawa bahagia di wajahnya.
Perasaan Nafa membuncah. Akhirnya setelah sekian lama dia merasa lega. Caranya mungkin salah dan sedikit brutal, tapi apa pedulinya? Yang terpenting saat ini adalah perasaannya sendiri.
Berkat Misella, Nafa sadar. Bahwa penyebab rasa insecure hanyalah dirinya sendiri. Bukan orang lain ataupun lingkungan masyarakat yang gila. Nafa hanya terlalu banyak berpikir. Ternyata, yang dia lawan bukanlah orang lain, tapi dirinya sendiri. Nafa marah ketika orang lain menjelekkannya, tapi tidak pernah marah ketika dirinya sendiri yang mencemooh.
Itulah yang membuatnya mengerdil. Yang harus dia lawan bukan orang lain. Namun, orang yang ada di dalam dirinya sendiri.
“Aku bukan jelek, tapi cantik!”
Selesai.