Dokumentasi pribadi LPM Locus/Ibrahim Abdurrahman
“Dan tidak akan ada orang yang rela anak yang dicintai ditembak atau dibunuh.”
Dibuka dengan lirik ini, lagu berjudul “Kamis” dari album terbaru Hindia yang bernama Doves, ’25 on Blank Canvas, mengangkat perjuangan Ibu Sumarsih yang menuntut keadilan bagi putranya yang menjadi korban peristiwa Semanggi I pada 1998. Lagu ini mengingatkan kembali para pendengar akan kejadian yang menimpa banyak orang pada tahun yang kelam itu. Peristiwa tersebut menjadi awal terbentuknya aksi Kamisan yang diselenggarakan di berbagai kota dengan tujuan menuntut keadilan bagi orang-orang yang “menghilang” tanpa jejak—yang pamit pergi ke kampus tetapi hanya kembali sebagai nama, yang pamit pergi tetapi tak kunjung kembali.
Saat ini, Indonesia sedang ramai dengan tagar #PeringatanDarurat, yang kemudian berlanjut menjadi #IndonesiaGelap atas serangkaian kejadian yang terjadi secara beruntun. Diawali dengan gerakan massal masyarakat untuk mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan jalannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, hingga kejadian terakhir terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Atas banyaknya kejadian tersebut, banyak elemen masyarakat Indonesia menyuarakan aspirasinya melalui berbagai media, mulai dari pembuatan konten di media sosial, penggunaan tagar, hingga penyelenggaraan demonstrasi serentak di berbagai kota.
“Wawan, mahasiswa Atma Jaya, juga aktif di masyarakat dengan ikut menjadi anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan, mengadvokasi korban 13–15 Mei 1998 sebagai anggota tim relawan kemanusiaan. Setiap kali Wawan datang ke rumah sakit, yang diminta adalah obat-obatan untuk teman-temannya yang berdemonstrasi. Menurut kesaksian, pada 13 November, hari Jumat, pukul 10.00 pagi, bersama enam orang temannya, Wawan menetralisasi gas air mata di depan kampus Atma Jaya dengan menyemprotkan air dari hidran. Sekitar pukul 15.00, aparat masuk ke Atma Jaya. Ada korban yang jatuh. Wawan memberi tahu, ‘Pak, itu ada korban, boleh ditolong atau tidak?’ Tentara itu mengatakan, ‘Boleh, silakan.’ Kemudian, Wawan mengeluarkan bendera putih dan melambai-lambaikannya. Tetapi, pada saat Wawan akan mengangkat korban, justru Wawan ditembak. Banyak orang mengatakan, sejak pagi Wawan telah menggunakan kartu identitas Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Wawan diautopsi oleh Dr. Budi Sampurno. Hasil autopsi menunjukkan bahwa Wawan meninggal dunia karena ditembak dengan peluru tajam standar militer di dada sebelah kiri, mengenai jantung dan parunya.”
Bait lirik lagu “Kamis” di atas mengingatkan penulis pada peristiwa yang baru-baru ini terjadi. Dalam salah satu demonstrasi yang diabadikan lewat akun Instagram @komisi_D, @bangsamahardika, dan @suarapelopor, yang diunggah pada 27 Maret 2025, terlihat adanya penghadangan dari aparat terhadap mobil ambulans. Dalam video tersebut terdengar suara, “Bapak, ini medis! Gila, itu sudah pada berdarah-darah semua! Gila, ini medis! Banyak loh! Sudah jalan, guys, sudah jalan, tapi polisinya enggak ngasih lewat. Pura-pura budek! Aku enggak ngerti deh maksudnya apa. Ini kemanusiaan, loh! Sudah medis, sudah medis, tapi enggak dikasih lewat!” Kejadian ini terdengar serupa, padahal terjadi di zaman yang berbeda.
Sejak pengesahan RUU TNI pada Kamis, 20 Maret 2025, demonstrasi terus berlangsung di berbagai kota oleh rakyat yang resah atas pengesahan tersebut. Kekhawatiran akan kembalinya Dwi Fungsi ABRI semakin menguat. Melansir dari KOMPAS.com, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Mayjen TNI Yusri Nuryanto, mengakui bahwa dalam beberapa waktu terakhir marak terjadi kasus pelanggaran hukum yang melibatkan prajurit TNI. Berbagai kejadian yang dilakukan oleh personel TNI serta dukungan pemerintah terhadap pengesahan RUU TNI semakin membuat rakyat sipil takut akan lahirnya kembali Orde Baru (Orba)—sebuah masa kelam yang kejadiannya masih terasa seperti baru kemarin bagi para korban 1998, termasuk Ibu Sumarsih.
Aksi Kamisan adalah aksi damai yang diselenggarakan oleh orang-orang yang menuntut keadilan atas kejadian 1998. Aksi ini telah berlangsung sejak 18 Januari 2007 di depan Istana Kepresidenan. Namun, hingga kini tidak ada respons dari pemerintah untuk mengusut serangkaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada tahun tersebut. Meski sudah lebih dari 20 tahun berlalu dan berbagai presiden telah berganti, tidak ada satu pun pemimpin yang berani menanggapi aksi damai ini. Bahkan, Presiden terpilih 2024 adalah salah satu orang yang juga terduga pelaku kasus pelanggaran HAM berat pada tahun 1998.
“Jangan sampai hanya ada korban, tetapi pelakunya tidak ada.”
Penulis : Ibrahim Abdurrahman
Editor : Alfida