Keikutsertaan perempuan dalam kancah politik saat ini sangat luar biasa. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun 2014 saat Presiden Jokowi menjabat sebagai presiden RI Indonesia ke tujuh setelah masa kepemimpinan pemerintahan SBY selama sepuluh tahun, Istana Negara banyak menyambut menteri perempuan untuk mengisi kursi kepemimpinan. Total ada delapan menteri perempuan yang duduk di kursi yang banyak diperebutkan para politikus dan professional dalam negeri. Mereka adalah:
- Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial
- Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangungan Manusia dan Kebudayaan
- Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan
- Retno Lestari Priansari Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri
- Rini M. Soemarno sebagai Menteri BUMN
- Siti Nurbaya Bakar sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Nila F.Moeloek sebagai Menteri Kesehatan
- Yohana Susana Yembise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Suatu kebaruan ini membuat kita semua sadar bahwa sebenarnya perempuan mampu menduduki posisi setara dengan laki-laki. Kesetaraan gender itu bukan hanya sebatas teori belaka, dalam ranah praktek pun hal itu nyata adanya. Kita semua sudah khatam mengenai pengertian “gender” itu sendiri. Ekseskusi selanjutnya adalah menunjukkan eksistensi diri perempuan di tengah persaingan era globalisasi. Bagaimana para perempuan hebat itu mampu menjadi “sosok pembaharuan” dibidangnya masing-masing, itulah yang diharapkan oleh masyarakat sebagai pemimpin tertinggi dari demokrasi.
Fitrah dari seorang pemimpin adalah memimpin. Dibalik kata “memimpin” itu ada beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu adil, bijaksana, bertanggung jawab, dan mampu mempengaruhi orang lain. Beberapa sifat yang dimaksud diatas juga dimiliki oleh kepemimpinan khususnya perempuan. Walau beberapa responden ada yang mengatakan bahwa sifat perempuan itu labil, moody, mudah menangis, mudah rapuh, dan lain sebagainya walaupun hal itu benar adanya, namun pada prakteknya tidak semua perempuan mempunyai sifat perasa yang menjurus kearah baper.
Tidak ada hal hebat yang diproduksi instan, semuanya tentang proses yang berlanjut hingga batas akhir. Semua menteri perempuan yang duduk dibangku kementerian tersebut digodok melalui proses panjang. Menguras air mata, jatuh tersungkur dan beberapa hambatan lain yang tidak bisa dijabarkan satu persatu. Jika dipikir, tanggungan seorang perempuan itu lebih berat ketika menjadi seorang pemimpin, mungkin ini yang dimaksud dalam “proses” itu. Karena di samping menjabat sebagai pejabat publik, perempuan juga menjadi ibu bagi anak-anaknya.
Indonesia bukan negara liberal seperti Amerika Serikat, atau Negara belahan Eropa lain dimana perempuannya lebih mementingkan karir dibandingkan dengan keluarga dan memperbanyak keturunan. Indonesia Negara majemuk dengan tingkat kemiskinan dan kelahiran yang tinggi. Maka dari itu, tanggungan perempuan sangat berat disamping menjadi ibu rumah tangga ia harus menunjukkan citra yang baik sebagai seorang pemimpin.
Ada jumlah yang secara jelas tertulis dalam undang-undang keterlibatan perempuan dalam politik yaitu sekitar 30% dari jumlah seluruh anggota partai politik dalam parlemen. Tapi apakah jumlah ini telah dimaksimalkan? Atau paling tidak apakah keterlibatan perempuan sejumlah 30% sudah terpenuhi? Sebenarnya, proses menjadi pemimpin bagi perempuan itu sendiri sudah disediakan oleh pemerintah lewat bangku perkuliahan, kebebasan ikut dalam organisasi, dan pelatihan-pelatihan lain dalam proses pembangunan mental, dan hal yang berkaitan dengan pemimpin. Dan ketika menteri perempuan itu terpilih menjadi seorang pemimpin, maka disanalah ia bisa menerapkan apa yang sudah dia pelajari dalam proses yang dimaksud.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, jauh sebelum karir politiknya naik beliau sudah lebih dulu berproses di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bahkan beliau pernah di daulat sebagai perempuan pertama yang menjadi Ketua Cabang PMII Surabaya. Lantas kemudian ia mengembangkan sayap lebih lebar di dalam dunia politik karena konsentrasi studi beliau Ilmu Sosial dan Politik hingga beliau menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Kabinet Persatuan Nasional di era pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid sejak tahun 1999-2001.
Tidak juga keberadaan laki-laki menjadi terancam karena perempuan. Tidak ada yang harus tersaingi atau tersingkir, karena keduanya sama-sama memiliki keinginan untuk memajukan Indonesia. Laki-laki harus membuktikan bahwa kaum adam lebih baik daripada perempuan, tapi jangan juga menindas dan menyepelekan kaum perempuan, karena bagaimanapun perempuan berdikari adalah tipe wanita yang diidam idamkan menjadi pemimpin ala Kartini zaman now.
Dilihat dari perspektif Islam, kepemimpinan perempuan menjadi alternatif manakala tidak ada seorangpun laki-laki yang bisa atau dipercaya menjadi seorang pemimpin. Maka, perempuan muncul sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Beberapa tahun lalu, hal yang tabu tatkala perempuan keluar menjadi pemimpin era awal reformasi. Megawati, setelah Gus Dur dilengserkan oleh MPR nya sendiri memimpin ditengah-tengah masa transisi. Selang beberapa bulan, beliau dikukuhkan menjadi presiden Republik Indonesia ke lima dengan Kabinetnya yang bernama Kabinet Gotong Royong. Ini menjadi tembakan terbaik bangsa dengan memunculkan satu kebaruan yang jarang sekali dapat ditemukan di negara lain khususnya negara yang mengekang kebebasan perempuan, seperti di Timur Tengah yaitu Arab, Palestina, Srilanka. Kebaruan itu juga dibarengi dengan harapan baru pula.
Siapapun pantas menjadi pemimpin. Perempuan pantas menjadi pemimpin dan cakupan memimpinnya bukan hanya di dalam bidang kementerian saja, tapi dibangku panas kecamatan, bupati bahkan gubernur pun ada yang diduduki oleh perempuan. Asal mereka mau, mereka bisa. Asal perempuan mau berdikari dan melek teknologi, memimpin pun jadi hal yang tidak lagi sulit diatasi. (Retma Ayu Ningtyas)