Implementasi Nilai Fundamental dalam Kehidupan Beragama dan Bernegara

  • By locus
  • Desember 20, 2017
  • 0
  • 184 Views
Dasar negara bangsa Indonesia

“Beri aku 10 pemuda, maka akan aku goncangkan dunia”
Itulah kata-kata yang lazim di perdengarkan dalam acara-acara peringatan sumpah pemuda maupun pidato-pidato untuk membakar semangat para kaula muda, dan ini adalah kata-kata fenomenal yang di ucapkan oleh sang presiden pertama bangsa kita yaitu Ir. Soekarno. Jika flashback ke era masa perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia, pernyataan tersebut bisa saja menjadi relevan sebab ketika masa perjuangan para tokoh pemuda, mereka adalah kaum-kaum intelektual dan memiliki jiwa nasionalimse yang begitu besar sehingga cita-cita yang mereka gadang-gadangkan untuk memperoleh kemerdekaan bangsa Indonesia dapat di rengkuh berkat peran para pemuda tadi. Sebagai contoh peristiwa tahun 1908, yang dijadikan sebagai momentum awal kebangkitan nasionalisme Indonesia merupakan periode nasional yang banyak di isi oleh para pemuda dan mahasiswa bangsa ini. Kemudian peristiwa sumpah pemuda (1928) yang melahirkan kebulatan tekad bangsa ini, pun tidak lepas dari para mahasiswa serta pemuda dengan komunitas jong-jong-nya pada saat itu. Belum lagi peristiwa-peristiwa penting lainnya yang terjadi pada era pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, orde baru, dan reformasi. Semuanya tidak lepas dari peran serta kaum muda dan mahasiswa Indonesia kala itu. Soetomo, Soekarno, Hatta, M.Yamin, Sayuti Malik, Tan Malaka dan sederetan nama lain adalah para founding father kita yang berangkat dari semenjak mahasiswa hingga menjadi pelopor perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Begitu besar pengaruh dan pentingnya peran pemuda pada masa perjuangan kemerdekaan, maka jika kita melihat perkembangan zaman seperti di era milenial ini seperti apakah peran pemuda terhadap bangsanya, padalah kita sudah hidup enak tinggal menikmati kemerdekaan, lalu pertanyaannya adalah apakah pemuda sekarang akan tetap pada zona amannya saja dengan menjalani hidup apa adanya sekedar mengikuti modernitas dan globalisasi, atau akan terus mengembangkan bangsa Indonesia yang masih terjebak menjadi Negara berkembang dengan berbagai masalah dan problematika pelik yang di hadapi.
Bicara tentang fenomena, akhir-akhir ini banyak sekali fenomena absurd dan jauh dari sifat warga Indonesia yang penuh rasa toleransi serta moderat. Ambil contoh peristiwa luar biasa di akhir tahun 2016, permasalahan ini muncul mana kala salah satu pernyataan gubernur Jakarta yakni Basuki Tjahja Purnama atau sering dikenal dengan Ahok, yang mana atas pernyataannya tentang surat Al Maidah ayat 51 tersebut mengundang reaksi para warga, hingga muncullah kasus penistaan terhadap agama yang kemudian bermunculan berbagai opini publik yang bertebaran di media social, dan hal tersebut pun menyulut emosi warga Indonesia khususnya umat muslim, sampai-sampai munculah aksi-aksi dengan masa yang begitu luar biasa, karena mampu menyedot masa hingga jutaan orang tumpah ruah di jalanan ibu kota dan ini berlangsung sampai berapa kali, aksi tersebut antara lain 411 dan 212. Begitu kompak dan luar biasa sekali gerakan massa yang mampu di kerahkan, andai saja ketika kasus-kasus lain seperti korupsi yang kini sedang buming yaitu kasus korupsi E-KTP ataupun ketidak adilan macam persoalan prefort maupun konflik agrarian gunung kendeng, tentang perserteruan petani dan perusahaan yang hendak membangun pabrik semen. Jika kasus tersebut mendapat simpati seperti kasus yang katanya penistaan agama yang menyerempet menjadi aksi Bela Negara, yang kemudian mampu menurunkan aksi turun ke jalan dengan masa yang besar dan banyak, maka dapat di pastikan kasus-kasus seperti korupsi ataupun ketidak adilan terhadap rakyat kecil, besar kemungkinan dapat teradili dengan baik, jadi sejatinya yang membutuhkan pembelaan adalah manusia yang tidak berdaya macam petani, buruh, dan kaum marjinal lainnya, bukan hanya Tuhan saja yang di bela, lha wong tanpa di belapun Gusti Allah masih tetap tak terkalahkan dan tidak akan hilang kebesaraan serta kekuasaannya. Itulah dinamika yang melanda bangsa ini.
Negara Indonesia adalah salah satu contoh Negara majemuk/plural, beragam macam ras, suku, agama, bahasa dan budaya akan tetapi keragaman tersebut, mampu berjalan berdampingan, tidak ada yang merasa paling unggul daerahnya, paling bagus budayanya maupun paling benar agamanya, semuanya berjalan dan hidup saling beriringan. Dan ini berkat perjuangan para pahlawan dan para pendahulu bangsa ini sehingga mampu bersatu dan bersinergi. Coba kita pandang Negara lain seperti Myanmar, di Negara tersebut yang notabennya warganya adalah beragama Hindu, maka penduduknya yang beragama di lain Hindu merasa tak aman seperti kasus pengusiran umat muslim Rohinya, yang sempat menjadi tranding topic pemberitaan media masa. Beruntunglah kita hidup di Indonesia walaupun di Indonesia penduduk terbesarnya adalah muslim akan tetapi agama-agama lain bisa tetap hidup damai dan saling berdampingan. Dan sekarang yang sedang was-was adalah para muslim Amerika, di mana pasca terpilihnya Donal Trump sebagai presiden Negara adidaya itu, sempat menyampaikan peraturannya yang kontroversional yaitu pelarangan terhadap orang-orang muslim (#Ban Moslem) khususnya timur tengah karena di anggap orang muslim adalah teroris, sehingga muncul pelarangan tehadap orang muslim ke tanah Amerika. Beruntung lagi kita warga Indonesia semua mampu menerima berbagai perbedaan satu sama lain, hanya di Indonesia lah orang berkulit hitam, putih, sawo matang, rambut kriting, rambut lurus, bermata sipit maupun bulat, hingga semua penduduknya punya ciri fisik yang bebeda dan adat istiadatnya yang juga beda, akan tetap semua terintegrasikan dalam Bhineka Tunggal Ika ( Berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Maka dari itu, idealnya masyarakat Indonesia perlu memiliki suatu nilai dasar untuk tetap menjaga hubungan yang harmonis terhadap manusia, alam dan yang tak kalah penting adalah hubungan terhadap tuhan agar selalu terlanggengkan sikap moderat dan toleransi satu sama lain, dimana nilai-nilai tersebut terangkum dalam tiga hal yaitu,
Hubungan Manusia dengan Allah (Hablun min-Allah)
Allah menciptakan segala sesuatu. Dia menciptakan manusia sebagai sebaik-baik kejadian dan menganugrahkan kedudukan terhormat kepada manusia dihadapan ciptaan-Nya yang lain (QS. Al-Dzariat : 56, QS. Al-A’raf : 179, QS. Al-Qashash: 27). Kedudukan tersebut ditandai dengan diberikannya akal, sebagai kemampuan berkreasi dan memiliki kesadaran moral. Manusia memiliki potensi dalam melakukan peranan sebagai khalifah dan sebagai hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia mengemban amanat yang begitu berat kerana menjadi khalifatul fil Ardh dan amanat tersebut tidaklah di berikan pula kepada makhuk lain selain manusia. Sebagai hamba Allah SWT, manusia harus melakasanakan segala perintah dan ketentuan-ketentuan-Nya. Oleh sebab itu manusia diberi kesadaran moral yang harus selalu dirawat, jika manusia tidak ingin terjerumus pada derajat yang rendah. Jadi dua kedudukan penting hubungan manusia dengan Allah sebagai khalifah dan sebagai hamba, keduanya harus dijalani secara seimbang, lurus dan teguh dengan yang lainnya. Dengan demikian penekanan terhadap proses menjadi insan yang mengembangkan dua pola yang sebagai khalifah dan hamba, maka hal yang di harapkan oleh manusia semata-mata hanyalah mengharap ridho dari Allah sehingga akan muncul kesungguhan dalam berikhtiar dan menyerahkan hasil sepenuhnya sesuai kehendak Allah. Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, maka akan muncul manusia-manusia yang mempunyai kesadaran tinggi, kreatif, dan dinamis dalam hubungnannya dengan Allah, sekaligus didukung dengan ketakwaan kepada Allah. Setelah kedua pola tersebut mampu dijalankan secara seimbang diharapkan mampu mengantarkan dan membawa manusia pada posisi kemanusiaan yang sesungguhnya dan akan mampu menginterpretasikan nilai dan prinsip tauhid secara utuh dan holistic. Selain itu keimanan Dan ketakwaan kepada Tuhan tidak cukup hanya dengan syahadat, shalat, zakat, puasa, haji, tetapi nilai-nilai ibadah itu harus mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari; membangun peradaban umat manusia yang berkeadilan. Bahwa kita hidup di dunia ini bukan untuk mencari jalan keselamatan bagi diri sendiri saja, akan tetapi bagi orang lain, keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia ( Hablun min-Nas)
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang mempunyai keududukan mulia diantara makhluk ciptaan tuhan yang lainnya. Pada hakikatnya manusia satu dengan yang lain itu sama dan setara di hadapan Tuhan. Tidak ada perbedaan dan keutamaan yang lebih menonjol. Begitu pula tidak dibenarkan adanya anggapan bahwa laki-laki lebih mulia dari perempuan, karena yang membedakan hanya tingkat ketaqwaan yang dimilikinya (QS. Al-Hujarat: 13) keimanan dan keilmuannya (QS. Al-Mujadalah: 11). Perwujudan ketaqwaan ada pada perwujudan hubungan manusia yang dirasakan melalui kepekaan interpersonal dan antar komunal yang diperkuat oleh kecerdasan intelektualitas diri (kehidupan).
Sebagai warga dunia manusia adalah satu dan sebagai warga Negara manusia adalah bangsa, sedangkan sebagai mukmin manusia adalah bersaudara.
Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, ada yang menonjol potensi kebaikannya ada pula potensi kelemahannya yang menonjol, maka dari itu antara manusia satu dengan yang lainnya harus saling menolong, menghormati, kerjasama, menasehati dan mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama (QS. Ali Imron :103, An-Nisa: 36-38).
Dengan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh manusia, ia harus mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa dan karsa. Manusia dituntut untuk memnfaatkan potensinya yang telah dianugerahkan oleh Allah agar dia mampu mengembangkan kehidupannya dan menyadarai asal mulanya kejadian dan makna kehadirannya di dunia. Di dalam kehidupan dunia ini, sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing, bersederajat, berlaku adil dan mengusahakan kesejahteraan dalam hidup bersama. Karena manusia hidup di dunia ini tidaklah sendiri untuk itu di butuhkan usaha bersama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi, dan saling gotong-royong.
Lebih dari itu, kita hidup dalam sebuah Negara yang plural dan beraneka ragam. Di Indonesia kita hidup bersama umat Kristen, Hindu, Budha, aliran kepercayaan, dan kelompok keyakinan yang lainnya. Belum lagi bahwa kita pun berbeda suku, bahasa, adat istiadat, dan ras. Maka dari itu juga diperlukan kesadaran kebangsaanyang mempersatukan kita bersama dalam sebuah kesatuan cita-cita menuju kamanusiaanyang adil dan beradab (Ukhuwah Wathaniyah). Dalam filsafat pancasila, keanekaragaman ini dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika.
Nilai fundamental dalam kehidupan ini sebagai falsafah dalam bergerak akan selalu menjadi sumber motivasi dalam mewujudkan kemanusiaan dalam hubungannya dengan sesama manusia, baik dalam konteks beragama, berbangsa dan bernegara sehingga tidak akan terjadi sebuah kekeliruan dalam menerjemahkan sebuah perbedaan pandangan. Oleh karena itu, jika pemahaman hubungan sesama manusia ini mampu diaktualisasikan secara bijak maka tidak akan terjadi sebuah pandangan fanatisme buta dalam menafsirkan perbedaan.
Hubungan Manusia dengan Alam
Allah SWT maha pencipta segala sesuatu, Alam semesta dan seisinya adalah bukti kekuasaan-Nya. Alam juga merupakan tanda-tanda keberadaan, kebesaran, sifat dan perbuatan Allah, yang menunjukan makna bahwa nilai tauhid juga melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam. Alam dan manusia mempunyai kedudukan yang sama keduannya merupakan ciptaan Allah SWT, namun Allah menundukan alam bagi manusia, dan bukan sebaliknya. Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam, bukan penghambaan terhadap sang pencipta. Karena manusia sesungguhnya memiliki kedudukan sebagai khalifah di bumi untuk menjadikan bumi maupun seisinya sebagai objek dan wahana dalam bertauhid dan menegaskan dirinya. Bukan menjadikannya objek eksploitasi, perlakuan baik manusia terhadap alam dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan untuk kebaikan akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia, sebab akhirat adalah masa depan eskatologis yang tak terelakan. Kehidupan akhirat yang akan dicapai dengan sukses jika kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal saleh.
Hubungan manusia dengan alam ditunjukkan dengan sendirinya dalam cara-cara memnfaatkan alam, memakmurkan bumi dan dengan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya jga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam (tanpa mengeksploitasi) untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam bekerja sama, tolong menolong dan tenggang rasa.
Selain sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup, alam atau ekologi juga merupakan ayat Tuhan yang harus dipahami sebagaimana kita memahami Al-Qur’an. Dalam arti, kehidupan alam dan manusia merupakan manifestasi akan eksistensi Tuhan. Dari itulah akan terwujud keimanan yang mantab kepada Tuhan dan kemantaban diri sebagai manusia yang harus menyebar dan mempertahankan kedamaian di muka bumi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) merupakan salah satu hasil penting cipta, rasa dan karsa dari manusia, manusia menciptakan hal tersebut dalam rangka memudahkan pemanfaatan alam atau memudahkan hubungan antar manusia. Dalam memanfaatkan alam dibutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena alam memiliki ukuran, aturan, dan hukum tertentu, karena alam ciptaan Allah bukan sepenuhnya siap pakai, melainkan memerlukan pemahaman terhadap alam dan ikhtiar untuk mendayagunakan.
Dari tiga nilai tersebut apabila semua warga Indonesia mampu menjalankannya, maka kehidupan yang di idam-idamkan seperti kedamaian, keselarasan serta keharmonisan akan dapat terwujud. Sebab sejatinya manusia hidup di dunia ini yang menjadi bahan interaksinya adalah Tuhan, Manusia dan alam. Dimana tuhan sudah mewakili tentang hidup beragama dan manusia juga sudah mejadi aktivitas dalam hidup bernegara, serta alam adalah tempat dimana manusia tinggal, maka dari itu ketiga nilai fundamental tadi harus saling bersinergi. Selain itu kita khususnya sebagai warga Negara Indonesia kita harus bangga menjadi bangsa yang lahir di bumi pertiwi, jika menyadur dari perkataan Cak Nun, beliau menyatakan bahwa “Kita harus menyadari betapa penting sebuah jati diri. Kalau tidak, kita akan dengan mudah terbawa arus. Dan hanya ikan matilah yang hanyut terbawa arus.” Maka dari itu banggalah dengan jati diri bangsa Indonesia, lebih khusus lagi untuk para pemuda harapan bangsa, Bangkitlah pemuda, bangun Negara, singsingkan lenganmu dan tegapkan langkahmu. Sebab pemuda sekarang adalah pemimpin masa depan.

Oleh : Siti Nur Maela

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.