Hujan Dalam Surat Yang Terkukung

  • By locus
  • Desember 22, 2024
  • 0
  • 52 Views

Langit mendung mengiringi upacara lamaran di pendopo besar. Kulihat dari jendela berjeruji orang-orang duduk bersila di atas tikar pandan, asap dupa membumbung dari sudut-sudut ruangan. Di tengah keramaian itu, aku duduk kaku dengan kepala tertunduk, menyembunyikan kegelisahan yang memeluk erat hati. Masih di bilik kamar.
Aku mengusap air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Bagai bendungan yang ingin tumpah ruah, meluapkan segala yang ingin kuluapkan.
“Gapopo, Nduk. Gapopo ….” Ibu merengkuh pundakku dari belakang.
“Apa yang saya harapkan dari lelaki yang sudah memiliki tiga istri? Saya ndak kenal dia, dia ndak kenal saya. Ini namanya saya disuruh menggenapi jumlah istrinya, Bu.” Bahuku terguncang-guncang.
“Dia Bupati, nduk. Romomu hanya ingin melihatmu bahagia, menjadi istri orang terpandang, dan yang terpenting, Romo sudah terlanjur berjanji.”
Aku menggeleng perlahan. “Tapi ada orang lain yang sudah mengisi hatiku, Ibu. Dia memahamiku, dia mengerti mimpi-mimpiku.”
Ibu merengkuh pipiku, menghadapkanku pada wajahnya. “Kamu pasti kuat, Nduk. Kita memang tidak boleh berbicara kecuali sendhika dhawuh.”
Ibu meraih lenganku, menuntunku untuk berdiri. Sekali lagi mengusap mata sembabku, sebelum menuntun ke pendopo.
Romo duduk di depanku, mengenakan beskap hitam yang megah. Wajahnya tegas seperti biasanya, penuh wibawa sebagai seorang bupati. Di sebelahnya, seorang lelaki berkepala empat berbusana lengkap adat Jawa, ia menatapku dengan senyum sopan, tetapi bukan wajah itu yang kuharapkan.
Aku memegang ujung kain jaritku erat-erat, berharap dapat mengalihkan perhatian dari dadaku yang terasa nyeri tak tertahan. Aku berusaha menahan muak melihat muka lelaki di samping Romo yang digadang-gadang akan menjadi pendamping hidupku. Di luar pendopo, gerimis turun perlahan, seolah-olah langit menangis untukku.


Satu bulan sebelumnya.
Rintik-rintik air langit membungkus pagi, membuat matahari malu-malu menampakkan diri. Aku menyingkap tirai, hawa anyep langsung menerpa. Bisa kulihat pagar-pagar kayu di depan serambi rumah yang terlihat beku. Di luar pagar, terlihat beberapa orang anak kecil, anak-anak abdi dalem, tertawa-tawa di bawah rinai hujan, tak peduli kombinasi air hujan dan udara dingin bisa membuat mereka jatuh sakit.
Namun justru akulah yang merasa sakit. Tawa mereka yang mengalir bebas membuatku merasa iri. Aku ingin berlari keluar, menyingkapkan kain jarit yang selama ini mempersempit langkahku dan menari-nari dengan air hujan. Tapi itu tak mungkin, semesta tahu, pintu kayu kamar ini adalah batas dari segala duniaku.
Tok! Tok! Tok!
“Nuwun sewu, Ndoro Ajeng. Niki kulo Yu Nah.” Seseorang mengetuk pintu dengan pelan.
“Nggeh, masuk mawon, Yu.”
Wajah keriput itu muncul dari balik pintu. Menangkupkan tangan. “Ada kiriman untuk ndoro.”
Senyumku mengembang, mempersilakan Yu Nah memasukkan kotak kayu ke dalam kamarku. “Terima kasih, Yu.”
“Nggeh, kalau begitu saya pamit dulu.” Pintu ditutup.
Hari ini hari ulang tahunku. Sembilan tahun sudah masa pingitanku dan orang ini tak pernah absen mengirimiku ucapan dan tumpukan buku-buku di setiap hari lahirku. Surya. Rasa hangat menjalar dalam dadaku setiap melihat nama lengkapku ia tulis dengan tangannya.
Untuk gadis pintar yang menjadi temanku.
Kinanti, selamat hari lahirmu yang ke-dua puluh satu.
Bagaimana kabarmu? Ah, aku membayangkan dirimu pasti sudah tumbuh dewasa, bagai bunga yang sedang mekar-mekarnya. Senyuman dengan gigi kelincimu pastilah masih selucu dulu. Oh iya, aku mengirimkan beberapa buku dan majalah dari Belanda untuk memberi makan kepalamu itu, sekaligus sebagai hadiah.
Sudahlah, Kinan. Aku bingung mau menulis apalagi, aku tak pandai merangkai kata-kata seperti Tirto yang dulu menyukaimu dan selalu membuatkanmu puisi.
Salam hangat
Suryaningrat
Aku melipat kertas sambil tertawa geli. Sifat lucu dan apa adanya Surya tak berubah, dari semasa kami sekolah di ELS dulu. Ia semakin sibuk, kudengar kabarnya ia bekerja menjadi kedutaan besar nun jauh di sana. Entahlah, yang pasti kehidupannya di luar jangkauanku. Tapi, aku selalu senang dengan cerita di setiap surat yang ia kirimkan walau tak tentu, berusaha memahami dengan seluruh imajinasiku.
Surya temanku waktu bersekolah dengan anak-anak Belanda dulu. Ia kawan yang baik, pintar dan perhatian. Ia bergelar Raden Mas karena ayahnya masih keturunan bangsawan, pegawai kantor pajak. Masih kuingat waktu tahun terakhir sebelum kelulusan kami, usia kami dua belas tahun -sebelum aku dipingit-, malam-malam ia mengajakku ke lapangan rumput terbuka, untuk melihat bulan purnama yang sedang bundar-bundarnya.
“Keinginanku bukan jadi Raden Ayu, Sur. Aku mau jadi penulis seperti nyonya Stella, istri teman londhone Romo, berkelana ke banyak negeri, mengunjungi tempat-tempat indah, bertemu orang-orang dan pengetahuan baru.”
“Kinan,” Surya berkata sambil menyerahkan bunga yang ia petik dari tumbuhan liar. “Kalau aku sudah besar nanti, aku akan jadi orang hebat. Tapi aku takkan lupa sama kamu. Aku akan berusaha sebisaku untuk membantumu.”
Kami tertawa bersama, dan saat itu dunia terasa begitu sederhana dan penuh janji.
Kini, jarak dan waktu telah memisahkan kami, tetapi surat-surat Surya tetap menjadi penghubung yang menghangatkan. Semua impianku dan cita-citaku, kutumpahkan padanya, termasuk … cintaku yang tak pernah kuungkapkan secara langsung.


Malam sudah merangkak naik, tetapi aku masih bergulat dengan kegelisahan yang tak kunjung reda. Kamar terasa hening, hanya ditemani laungan jangkrik yang terdengar sayup dari balik jendela. Lampu minyak di meja kecil bergoyang pelan, menyisakan bayangan kabur di dinding.
Di atas meja, seseorang entah siapa dengan lancang telah meletakkan ratus. Membuatku ingin membantingnya. Acara lamaran tadi berjalan megah, seperti harapan keluarga besar. Semua orang terlihat antusias dan tersenyum, kecuali aku.
Aku merengkuh kertas putih dan wadah berisi tinta hitam. Tanganku gemetar saat meraih pena. Rasanya berteriak ingin melawan, ingin lari dari semua yang telah direncanakan untukku, tapi tubuhku tetap diam, seolah rantai tak terlihat menahan setiap langkahku.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantung yang berirama terlalu cepat. Kemudian, perlahan-lahan, pena di tanganku mulai bergerak. Kata demi kata mengalir, meluncur ke atas kertas dengan sendu.
Setiap goresan tinta adalah percikan dari rindu dan amarah yang tak pernah berani kuucapkan. Kepada siapa lagi hati ini bisa bercerita, jika bukan pada Surya? Aku harus mengakui, di sudut-sudut hatiku yang terluka, Surya selalu menjadi tempat pulang.
Untuk kawan terbaikku, yang jauh di mata, dekat di hati.
Suryaningrat,
Kertas ini mungkin tak akan mampu menampung segala yang mengalir di dadaku. Namun, biarlah aku mencoba menyulam kata-kata, meski tak seindah bait-bait puisi yang dahulu sering kau olok dari Tirto.
Hujan turun lagi hari ini, Sur. Rinainya mengingatkanku pada sore-sore ketika kau akan berangkat ke Belanda, memberikanku sebuah buku panduan jika aku ingin belajar menulis di surat kabar. Kau tahu? Sejak kau pergi, hujan tak lagi sama. Kini ia menyimpan rindu yang menusuk perlahan, seperti dingin yang tak mau pergi meski api sudah dinyalakan.
Aku sudah dilamar, Sur. Seharusnya aku merasa terhormat menjadi bagian dari keluarga terpandang yang memiliki nama besar. Tapi, apa artinya kehormatan ketika aku hanyalah angka dalam barisan istri? Apa artinya rumah jika aku tidak pernah menjadi pemiliknya, hanya penyewa yang tak pernah diizinkan membawa suara?
Sur, aku ingin bertanya padamu:
Apakah di negeri yang jauh itu perempuan bisa memilih?
Apakah di sana cinta tak harus dibungkam oleh kehendak orang tua, oleh tembok aturan-aturan, oleh tuntutan gelar, ataupun jani-janji tanpa persetujuan?
Aku ingin bebas, Sur. Aku ingin berlari ke negeri-negeri yang hanya bisa kubayangkan melalui kata-katamu. Aku ingin menjadi seseorang yang lebih dari sekadar putri yang terkurung. Aku bukan burung, yang bisa sesuka hati siapapun memasukkannya ke dalam sangkar.
Surya, aku tahu, aku tak pernah berhak meminta apa-apa darimu. Tapi jika surat ini sampai kepadamu, tolong ingatlah satu hal:
Simpanlah aku di hatimu, dan kenanglah aku sebagai perempuan yang merdeka, meski mimpi-mimpi dan tubuhku terhalang oleh jeruji lembaga.

Dengan doa yang terhenti di bibir,

Kinanti

Aku melipat surat itu dengan hati-hati, menyisipkannya ke dalam amplop untuk nanti diserahkan pada Yu Nah dan dikirimkan. Di ujung lipatan terakhir, air mata yang tak mampu kutahan jatuh menetes. Di luar, hujan mulai turun perlahan, seperti ingin meresapi kesedihan yang kusimpan dalam diam.

Penulis: Abril

Editor: Atik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.