FEMINISME ATAU FEMINAZI?

  • By locus
  • Desember 10, 2020
  • 0
  • 273 Views

Pria dan wanita sengaja diciptakan untuk saling membantu dan melengkapi satu sama lain. Namun, entah dimulai sejak kapan pastinya, saat zaman dahulu hingga sekarang wanita masih memiliki stigma yang lemah, tidak berguna dan dinomorduakan. Parahnya saat zaman kolonialisme wanita memiliki derajat yg sangat rendah dan hanya dijadikan budak prostitusi saja. Berbanding terbalik dengan pria yang dianggap kuat dan berkuasa.

Secara umum dan pada definisi yang tepat, feminisme merupakan gerakan untuk membela kesetaraan hak antara wanita dan pria,  dengan kata lain wanita menginginkan kesetaraan yang sama dengan pria dalam bidang profesional dan sosial.

Sebagai contoh, normalisasi wanita sebagai buruh kuli bangunan, normalisasi wanita yang berkerja sebagai kurir dan sopir, normalisasi wanita yang pulang petang karena pekerjaannya, dan masih banyak lagi.

Dewasa ini gerakan feminisme marak bersorak sorai dengan berbagai hastag yang bertebaran di dunia maya, diantaranya #womanpride #WomanSupportWoman dll.

Terlebih saat maraknya kasus pelecehan seksual yang dialami wanita di luar sana, banyak yang menyalahkan kasus pelecehan seksual tersebut karena cara berpakaian seorang wanita itu sendiri. Tidak hanya itu, banyak yang mengeluarkan dalil-dalil tentang cara wanita menutup aurat yang baik dan benar. namun, mirisnya mereka lupa dengan dalil-dalil yang diperuntukan para kaum laki-laki di luar sana untuk menunduk dan menjaga pandangan mereka.

Seperti yang dilansir dari acehtrend.com dalam tulisanPelecehan Seksual Bukan Karena Pakaian Perempuan.“Selama ini korban pelecehan seksual sering disalahkan karena dianggap mengundang aksi pelecehan tersebut terjadi. Lihat saja survei dari Koalisi Ruang Publik perbulan Maret-April 2020. Dari survei ini terlihat model pakaian yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual. Pakaian yang dikenakan korban adalah rok panjang dan celana panjang 17,47 persen, baju lengan panjang 15,82 persen, baju longgar 13,80 persen, berhijab panjang atau sedang 13,20 persen, baju lengan pendek 7,72 persen, baju seragam kantor 4,61 persen. Rok selutut 3,02 persen, baju ketat 1,89 persen. Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual 0,17 persen. Bila dijumlahkan ada 17 persen korban berhijab mengalami pelecehan seksual.”

Hal-hal seperti diataslah yang menjadi alasan kuat mengapa gerakan woman pride di koar-koarkan. Tidak hanya karena pakaian yang wanita kenakan yang “katanya” menjadi pemicu aksi pelecehan. Wanita disalahkan karena menggunakan make-up, make-up dianggap memicu terjadinya respon dari lawan jenis seperti cat-calling yang dialami seorang wanita. Kata oknum-oknum tersebut yang menyalahkan pemakaian make-up. karena dianggap mengundang seorang untuk ‘digoda’.

“salahnya menggunakan make-up”, “salahnya berpenampilan menarik” “makanya, yang natural-natural aja (tidak usah pakai make-up).”

Kalimat yang sering dikatakan kaum-kaum adam untuk pembelaan diri. Padahal jatuhnya manipulatif.

Ironisnya, masih ada oknum-oknum yang membuat feminisme menjadi melenceng dari definisi aslinya. Ya, mereka yang biasanya disebut feminazi.

Mereka yang menganggap dirinya kaum-kaum “open minded.” Mereka yang menganggap dirinya lebih concern menuntut kesetaraan dan malah mengurangi atau justru menghilangkan nilai feminisme dan mengurangi derajat wanita itu sendiri.

Mereka prefer menganggap bahwa gerakan kesetaraan wanita menghilangkan pembebasan batasan sosial seperti menuntut untuk menormalisasi wanita yang bertelanjang dada seperti laki-laki, mereka menganggap hal-hal yang dianggap normal dilakukan seorang laki-laki harusnya dianggap normal juga untuk seorang wanita. Dari pada menyuarakan tentang standart kecantikan yang saat ini sedang menjadi topik hangat diperbincangkan berbagai negara selain sexual harrasement, standart kecantikan tersebut seperti kulit putih, tinggi, kurus langsing, dan mulus tanpa cacatan.

Padahal pada dasarnya wanita yang cantik adalah dia yang menerima semua kekurangan dan kelebihan dirinya sendiri. Mereka (para feminazi) lupa bahwa batasan batasan tersebut yang menunjukan identitas dari kemuliaan wanita yang sebenarnya.

Tidak hanya itu, seorang feminazi biasanya menuntut derajatnya lebih tinggi dan mendeskreditkan seorang pria. Lalu menganggap dirinya lebih hebat,  kuat dan lebih capabel dibandingan dengan pria. Para feminazi biasanya membenci pria-pria karena mereka menganggap para pria tidak dapat melakukan suatu hal sendiri, tidak pernah becus dalam menyelesaikan masalah dan malah menambah masalah semakin rumit.

Feminisme harusnya mencari jalan keluar dari mindset-mindset kuno bahwa wanita hanya sebagai makhluk kelas dua dan bukan prioritas utama.  Bukan malah mencari pembenaran untuk merendahkan derajat dan meremehkan pria.  Maka, bila saat ini ada yang meng-klaim dirinya sebagai seorang feminisme namun lebih fokus untuk balas dendam dan mendeskreditkan seorang pria, coba cek kembali makna feminisme yang dianutnya. Apakah dia seorang feminisme sejati atau seorang feminazi?

Penulis: Salma Ulfa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.