Mbok Nem namanya. Tanpa nama panjang, cukup Nem saja. Kata mbok Nem, “Nem” artinya nerimo. Dia adalah penjual makanan yang ada di depan SMA Negeri 2 Ponorogo.
Tak ada yang pernah memperhatikannya, kecuali setelah hari itu. Hari dimana pintu warung Mbok Nem tertera tulisan “TUTUP”. Kabarnya Mbok Nem masuk rumah sakit karena gejala tifus.
“Nanti pulang sekolah jenguk Mbok Nem yuk, Ta!”
“Hari ini aku gak bisa. Aku sudah janji sama Kak Ge, mau menemani membeli buku.”
Diana mengangkat bahu. “Kasihan Mbok Nem, terus kapan kita bisa jenguk?”
“Nengok yuk? Kangen juga sama Mbok Nem. Kangen sama masakannya yang enak, bersih dan murah..hehe.” Meme yang baru datang langsung nerocos
Tak disangka, hanya tiga hari Mbok Nem opname. Belum banyak yang sempat menengoknya.
Pagi itu Tata, Diana kompak sarapan di warung Mbok Nem, wajah Mbok Nem masih terlihat pucat.
“Mbok, wajahnya masih pucat gitu kok sudah jualan?”
“Simbok sudah sehat ndok,” kata Mbok Nem.
Tata tahu Mbok Nem tidak berkata sebenarnya. Setelah Mbok Nem sakit Tata tahu bahwa Mbok Nem adalah sosok perempuan yang perkasa. Membesarkan tiga anak tanpa suami yang meninggal dunia saat si bungsu masih bayi.
Belum genap sepuluh hari berjualan, warung Mbok Nem tutup lagi. Dengar-dengar Mbok Nem masuk rumah sakit.
Mbok Nem dirawat di ruangan berisi sepulung orang. Tata menghela napas yang terasa sesak. Tata memandang wajah Mbok Nem yang keriput. Tak kuasa menahan perasaanya Tata dan temannya pamit pulang.
Empat hari berlalu kondisi Mbok Nem cenderung memburuk. Selama ini warung Mbok Nem sering dikunjungi. Namun, kenapa Tata tak sadar akan penderitaan Mbok Nem? Tata melamunkan diri.
Hampir sebulan Mbok Nem tak berdaya di ranjang. Tata merasa Mbok Nem menderita penyakit TBC. Dokter berkata Mbok Nem menderita TBC. Benar sekali dugaan Tata.
Hari-hari jadi menyedihkan buat Tata. Warung Mbok Nem tak hanya memenuhi kebutuhan perut. Sapaan halus saat dia memiliki banyak masalah. Mbok Nem dan Yayuklah yang sering meringankan beban pikiran Tata.
Mengapa baru kali ini Tata tersadar? Siang itu, Tata segera menelepon Papanya untuk menyumbangkan uang dan meminta bantuan kepada semua siswa SMA 2 Ponorogo. Sebagai tambahannya Tata memecah celengannya untuk membantu pengobatan Mbok Nem. Setelah uang terkumpul Tata dan gengnya menuju rumah sakit.
Setelah sampai tujuan, mata Tata meneteskan air mata. Tubuh Mbok Nem sudah dibalut kain putih.
“Inalillahi wainaillaihi roji’un.”
Dalam hati Tata menyesal. Dia terlambat datang membantu penderitaan Mbok Nem. Padahal Tata baru saja mengumpulkan uang demi meringanankan biaya pengobatan.
“Ya Allah.. terimalah amal ibadah Mbok Nem. Secepat inikah Mbok Nem meninggalkan kita?“
“Iya Ta.. ini sudah ketetapan Allah SWT. Semoga Mbok Nem khusnul khotimah.”
Air mata Tata terus mengalir. Sulit baginya merima kenyataan ini. Atas tumbuhnya satu kesadaran, betapa besar jasa Mbok Nem selama ini. Hidup dan mati ditentukan oleh tangan Sang Pencipta. Betapa Tata telah mengabaikan bagian dari hamba Allah. Ah… kesadaran itu..mengapa sering datang terlambat? (X/Mahasiswi Fasya)