Diwujudkan 2023, Solo Berkomitmen jadi Kota Cerdas Pangan

  • By locus
  • Januari 13, 2023
  • 0
  • 167 Views
Konferensi Pers Konferensi Pers “2023 Solo Terapkan Peta Jalan Kota Cerdas Pangan” (29/12/22)

Solo menjadi kota pertama di Indonesia yang menandatangani Milan Urban Food Policy Pact menyetujui Glasgow Food and Climate Declaration. Pemerintah Kota Solo melakukan penandatangan Milan Urban Food Policy Pact pada November 2022. Sebagai upaya tindak lanjut, Pemerintah Kota Solo lantas menyusun roadmap kota cerdas yang mulai diterapkan pada awal tahun 2023. Kehadiran peta jalan diharapkan dapat mendorong upaya pengelolaan pangan yang adil dan berkelanjutan sebagaimana diungkapkan dalam Konferensi Pers “2023 Solo Terapkan Peta Jalan Kota Cerdas Pangan” yang diselenggarakan di Hotel Royal Heritage pada Kamis, 29 Desember 2022. Konferensi pers ini dihadiri oleh Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Solo, Sultan Nadjamuddin, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Eko Nugroho Isbandijarso, Direktur Program Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti, Komunitas Kepala SDN Cemara Dua, Eni Idayati, dan Pengelola Bank Sampah Gajah Putih, Sri Basuki Rachmat.

Diluncurkan oleh Milan Municipality pada tahun 2015, Milan Urban Food Policy Pact adalah kesepakatan internasional di antara kota-kota dari seluruh dunia yang berkomitmen untuk mengembangkan sistem pangan berkelanjutan yang inklusif, tangguh, aman dan beragam, menyediakan makanan sehat dan terjangkau bagi semua orang dalam kerangka kerja berbasis hak asasi manusia, meminimalkan limbah dan melestarikan keanekaragaman hayati sembari beradaptasi dan mengurangi dampak perubahan iklim.

Direktur Pragram Gita Pertiwi, Titik Dwi Sasanti, mengungkapkan adanya peningkatan jumlah sampah rumah tangga di Solo. Pada 2018, tiap KK menghasilkan sampah rumah tangga sebesar 0,49 kg. Angka ini mengalami oeningkatan pada tahun 2021 menjadi sebesar 0,73 kg/harinya. Akumuasi sampah rumah tangga di Kota Solo mencapai 95,33 ton per harinya. Angka ini setara dengan 31,8% total timbunan sampah di kota bengawan ini. “Tumpukan sampah pangan ini tentu turut menghasilkkan CH4 yang berdampak pada emisi rumah kaca,” ujarnya.

Dalam paparannya, 5 tahun terakhir Gita Pertiwi telah mendorong implementasi Kota Cerdas Pangan di Kota Solo melalui programnya. Rangkaian program tersebut diantaranya adalah supply pangan sehat berkelanjutan yang berkerja sama dengan daerah sekitar Solo; inclusive market yang mendorong semua segmen masyarakat bisa mengonsumsi makan sehat, kampanye Kota Cerdas Pangan, serta pendistribusian makanan berlebih (foodcare). “Kami tentu mendorong berbagai macam pihak untuk turut berkomitmen terhadap sistem pangan yang berkelanjutan ini,” harapnya.

Peta Jalan & Implementasi KCP

Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Solo, Sultan Nadjamuddin, mengatakan peta jalan Solo Kota Cerdas Pangan sudah selesai disusun. Enam pilar yang mendasari penyusunan peta jalan tersebut yakni tata kelola pangan, pola makan dan gizi berkelanjutan, keadilan sosial dan ekonomi, produksi pangan, pasokan dan distribusi pangan,  serta sampah pangan.

Peta jalan yang disusun dibagi menjadi 4 periode utama yakni penguatan kebijakan & kelembagaan pangan (2022 – 2023), penerapan pengelolaan sistem pangan perkotaan dan pengelolaan limbah pangan (2024 – 2026), pengembangan pengelolaan sistem pangan perkotaan dan pengelolaan limbah pangan (2027 – 2029), dan pencapaian pengelolaan sistem pangan perkotaan dan pengelolaan limbah pangan (2030-2032). Sultan mengatakan Pemkot tinggal menunggu payung hukum untuk mengimplementasikan roadmap tahun 2023. “Kajiannya sudah selesai, tinggal nunggu perwali (peraturan wali kota -red) tahun depan,” ujar Sultan.

Keenam pilar tersebut diwujudkan dalam sejumlah rencana strategis pada 2023 hingga 2032. Sultan mengatakan Kota Solo berfokus pada empat pilar yakni produksi pangan, tata kelola pangan, sampah pangan dan keadilan sosial dan ekonomi. “Isu kerawanan pangan kini sedang banyak dibicarakan. Kami ingin mendorong gerakan food sharing untuk pengelolaan pangan berlebih. Hal ini perlu melibatkan hotel, restoran dan sektor swasta,” ucapnya.

Selain Bappeda, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) menjadi organisasi perangkat daerah (OPD) yang intens mendorong terwujudnya Solo menjadi kota cerdas pangan. Belum lama ini DKPP menggelar sejumlah kegiatan seperti pencanangan kampung cerdas pangan, pasar tani dan bazar pangan murah. Kepala DKPP, Eko Nugroho Isbandijarso, mengatakan DKPP berkomitmen menyukseskan Solo menjadi kota cerdas pangan lewat kegiatan yang berkelanjutan. Oktober 2022 lalu, DKPP mencanangkan Kelurahan Joglo sebagai kawasan cerdas pangan. “Di sana sudah ada lahan sayuran, budidaya ternak hingga maggot yang terintegrasi. Warga juga sudah bisa menghasilkan produk olahan pangan dari lahan yang dikelola. Harapannya inisiatif ini bisa menular ke kelurahan lain,” ujarnya.

Saat ini sudah ada SE Wali Kota Solo tentang kota cerdas pangan yang memberikan imbauan soal pemanfaatan lahan, pemisahan sampah pangan hingga pemilihan makanan beragam dan bergizi untuk kegiatan pemerintahan. Pemkot juga telah memasukkan elemen cerdas pangan dalam RPJMD 2021-2026 serta RAD Pangan dan Gizi 2022-2026. Dengan adanya peta jalan hingga 2032, DKPP yakin pengelolaan pangan di Kota Solo akan menjadi lebih terarah. “Muaranya menuju sistem pangan yang adil dan berkelanjutan,” ujar Eko.

Akan tetapi dengan luas 46,7 km yang relatif kecil, ketersediaan bahan pangan di Solo dalam jangka panjang menjadi isu yang krusial. Mulai dari ketergantungan bahan pangan dari daerah lain, masih beredarnya PSAT, PPAH dan PAI yang belum semua aman dikonsumsi, hingga penyakit hewan yang menular antar hewan dan ke manusia (zoonosis). Peta jalan yang jelas diperlukan untuk mengakomodasi ragam persoalan tersebut.

Selain itu, belum jelasnya mekanisme pemanfaatan lahan-lahan tidur yang akan digunakan untuk pengembangan kota cerdas pangan. Sejauh ini, Solo masih belum memiliki basis data untuk lahan kosong di area utara yang belum dimanfaatkan oleh pemiliknya. “Lahan itu nanti akan dimanfaatkan oleh pemerintah dan digunakan untuk kepentingan umum. Pemanfaatan dimulai lahan-lahan yang kecil, misalnya dari pekarangan,” jawab Sultan.

Kekhawatira juga muncul terkait implementasi food sharing yang melibatkan swasta. Pelaku bisnis kerap kali enggan berbagi makanan sisa produksi dikarenakan khawatir akan berdampak buruk pada consumer dan menurukan citra produk miliknya. Menanggapi keresahan tersebut, Bappeda berjanji akan membuat sistem yang lebih terintegrasi. “Kekhawatiran ini akan diputus oleh sistem dan didistribusikan kepada pihak-pihak yang akan menerima,” ujar Sultan.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan pemerintah tidak akan berhubungan dengan individu. Melainkan, membaginya kepada lembaga-kembaga atau komunitas yang memiliki resiko pangan yang terdaftar dalam sistem tersebut. “Ada beberapa pihak yang berkenan membagikan sisa bahan pangan tersebut, akan tetapi dinas masih belum memili list penerima bantuan ini,” tutupnya.

 

Kolaborasi Untuk Kota Cerdas Pangan

Upaya Solo menjadi Kota Cerdas Pangan butuh dukungan semua kalangan. Tak hanya Pemkot, program tersebut perlu sokongan swasta, lembaga pendidikan, komunitas hingga masyarakat sipil agar berdampak optimal. Sejauh ini sejumlah pihak telah melakukan kolaborasi nyata untuk mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan di Kota Bengawan.

Bersama dengan Gita Pertiwi, SDN Cemara Dua No.13 Solo berinovasi membikin kantin yang menekan penggunaan plastik sekali pakai. Ide kantin ramah lingkungan ini berawal dari keprihatinan atas banyaknya sampah plastik yang dibuang di lingkungan sekolah. Kepala SDN Cemara Dua, Eni Idayati, kemudian mulai menginisiasi kantin tanpa plastik sejak tahun 2020. “Sekolah kami adalah SD negeri dengan siswa terbanyak di Solo. Jadi bisa dibayangkan dulu seperti apa sampah plastiknya. Mulai dua tahun lalu, kami secara bertahap mengurangi penggunaan plastik dan styrofoam pada jajanan di kantin maupun catering siswa,” ujarnya.

Paradigma sekolah gratis menjadi salah satu batu ganjalan pewujudan program tersebut. Hingga akhirnya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Solo memerintahkan sekolah untuk menyebarkan angket dan membebaskan pada wali untuk tidak/menyetujui program ini. Lebih lanjut, Dinas Pendidikan kemudian meminta untuk membuat program ini tidak wajib untuk dibebankan kepada semua siswa. Kendala yang juga mencuat belakangan adalah pesimisme target market anak-anak yang cenderung menyukai makanan ringan atau ciki. “Akan tetapi karena tujuan utamanya adalah untuk memberikan jajanan sehat kepada anak-anak, dengan komunikasi yang baik maka kendala bisa dihadapi. Sebelum dapur sehat ada banyak orang tua yang menjalankan cathering dan kini menjadi supplier di kantin sehat kami,” tuturnya.

Wadah makanan di sekolah itu kini telah berganti ke yang lebih ramah lingkungan seperti kertas, bahan kardus yang dapat didaur ulang, hingga gelas reusable. Meski belum menghilangkan penggunaan sampah plastik secara total, SDN Cemara Dua berkomitmen terus mengembangkan kantin ramah lingkungannya. “Memang tidak bisa langsung 100%, harus bertahap. Namun kami punya komitmen ke sana, apalagi sekolah ini sudah didapuk jadi Sekolah Adiwiyata tingkat Nasional,” uca Eni.

Di tempat lain, Bank Sampah Gajah Putih berkontribusi dengan mengolah sampah organik dan anorganik agar bernilai lebih. Bank sampah yang berlokasi tak jauh dari Kali Gajah Putih wilayah Karangasem, Laweyan, itu mengelola 300-400 kilogram (kg) sampah organik per bulan untuk diolah menjadi maggot. Sampah itu dikumpulkan dari sekitar 60 nasabah bank sampah serta sejumlah usaha kuliner.

Pengelola Bank Sampah Gajah Putih, Sri Basuki Rachmat, mengatakan produksi maggot dapat mencukupi pakan lele dan unggas yang dikelola kelompok. “Jika jumlahnya melimpah biasanya kami jual juga. Kasgot (bekas maggot)-nya kami manfaatkan untuk pupuk tanaman, jadi tidak ada yang terbuang,” ujarnya. Kehadiran bank sampah yang mendapat pendampingan Gita Pertiwi ini turut menunjang ketahanan pangan warga. Pengurus tak segan membagikan atau menjual murah hasil ternak mereka seperti lele ketika panen. “Kami selalu menjual di bawah harga pasar. Prinsipnya dari warga kembali ke warga,” ujarnya.

Penulis : Elsa Lailatul Marfuah

Editor : Devi Mutiara Hati

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.