Diskusi Publik AJI Solo: Kajian Revisi UU ITE dan Tantangan Kebebasan Berekspresi di Solo

  • By locus
  • Agustus 31, 2023
  • 0
  • 245 Views

Diskusi Publik AJI SoloMerespons “kesiapan” pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI menyepakati pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo gelar diskusi publik bertajuk “Solo Bebas Berekspresi: Mengupas Tantangan Kebebasan Berekspresi dan Jalan Panjang Revisi UU ITE” yang diselenggarakan di Catnlphora Café pada Sabtu, 26 Agustus 2023. Dorongan revisi UU ITE mulai meluas pada tahun 2021, kala Jokowi mengungkapkan perlunya revisi UU ITE apabila dianggap bermasalah. Dua tahun berselang, masih belum terlihat upaya revisi yang dimaksud. Tiba-tiba saja, pada April 2023, Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Johnny G. Plate, menegaskan kesiapan pemerintah menindaklanjuti setiap masukan yang disampaikan anggota dewan. Bahkan, melalui Keputusan Menkominfo Nomor 120 tahun 2023, pemerintah telah membentuk panitia kerja (Panja) pemerintah untuk pembahasan Revisi UU ITE. Namun hingga saat ini, publik masih belum mengetahui sampai sejauh mana proses revisi yang dilakukan dan draft mana yang kini tengah dibahas oleh Komisi I dan Panja Pemerintah.

 

UU ITE: Alat Pukul Untuk Kebebasan Berpendapat

Pada 13 Maret 2022, aktivis asal Solo, Muhammad Hisbun Payu atau yang akrab disapa Iss, ditahan oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda Jateng atas tuduhan penyebaran ujaran kebencian terhadap Jokowi. Ia dijerat dengan Pasal 45A jucto Pasal 28 Ayat 2 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait unggahan di Instagram pribadinya @_belummati. 9 jam berselang setelah penangkapannya di kos yang ditinggalinya, Iss ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

Pada saat penggrebekan terjadi, narasi yang dimunculkan bahwa dirinya dituduh terlibat dengan kasus prostitusi. “Foto-foto yang beredar saat itu, mereka (polisi – red) yang ambil,” ungkapnya. Dalam proses penahanan, Iss mengungkapkan lobi-lobi berdatangan. Ia diminta untuk login Instagram untuk membuat permintaan maaf, bahkan narasinya datang dari pihak kepolisian. “Waktu itu dibilang jangan tulis nama Jokowi, tapi sebut saja sebagai Pemerintah Indonesia,” tuturnya. Lebih lanjut, kepolisian saat itu berjanji tidak akan membeberkan statement tersebut kepada publik. Nyatanya, kurang dari satu jam berselang statement tersebut sudah bertebaran di media arus utama.

UU ITE dalam praktiknya, tak ubahnya menjadi alat pukul bagi yang aktif dalam gerakan rakyat dan kerap mengkritisi pemerintah. Metode yang dilakukan negara untuk memukul mundur gerakan rakyat juga cenderung seragam yakni mencari celah dari orang-orang yang terlihat “aktif” dan dipenjarakan. “UU ITE seharusnya difungsikan sebagaimana mestinya, bukan sebagai alat pembungkam. Negara (melalui aktor-aktornya – red) kerap kali berdalih, bukan mereka yang melaporkan, tapi orang-orangnya yang maju,” ungkap Iss.

Iss mengakui bahwa upaya menakut-nakuti itu cukup berhasil. Ia mengungkapan bagaimana orang-orang menjadi takut untuk bergaul dengannya. Beberapa dari kawan-kawannya melunak bahkan berpindah kutub, berlindung pada kekuasaan yang ada. “UU ITE ini alat pembungkam bagi siapa yang terlihat aktif, meski begitu kita harus terus terlibat aktif. Siapa saja bisa kena, tinggal menunggu giliran. Oleh sebab itu, harusnya UU ITE ini direvisi,” harapnya.

Nasrul Saftiar Dongoran, selaku kuasa hukum Iss, mengungkapkan kesulitannya melakukan pendapingan hukum kepada Iss. Penangkapan Iss yang terjadi pada minggu-minggu awal merebaknya wabah COVID-19, membuat pendampingan terhambat beberapa prosedur kesehatan yang harus dipenuhi. Salah satunya, sebagai kuasa hukum, mulanya ia tidak bisa mengunjungi Iss. Belum lagi alotnya negosiasi dengan Direktorat Kriminal Khusus Polda Jateng berjalan dengan sangat alot. Ia terus menekankan bahwa apa yang dilakukan oleh Iss adalah bentuk kebebasan berekspresi sehingga tidak perlu dilakukan penahanan. Nasrul mengungkapkan bahwa apa yang terjadi pada Iss sejatinya adalah pembungkaman dari atas. “Saat penyelidikan, salah satu penyidik menerima telepon seniornya. Dari gesture-nya terlihat punya pangkat karena penyidik tersebut sampai bilang ‘Siap, Jendral!’ beberapa kali,” ujarnya. Nyatanya, status tersangka yang dibebankan kepada Iss belum juga dicabut hingga berita ini ditulis.

Tak hanya Iss, setahun berselang, seorang buruh di Demak dikenakan UU ITE akibat melaporkan serikat buruh yang dianggap mengabaikan kepentingan buruh sendiri. Masih pada tahun yang sama, Semarang dikejutkan dengan penangkapan dua orang aktivis buntut pengorganisiran demonstrasi “Jokowi End Game” melalui Zoom dan grup WhatsApp “Group Klub Tennis”. Nasrul mengungkapkan pola-pola kasus terkait UU ITE ini cenderung sama, ketika pelapornya adaah orang yang berkuasa dan yang dilaporkan tengah memperjuangkan kepentingan publik.

Implikasi lebih lanjut dari menjamurnya penggunaan UU ITE adalah tumbuhnya budaya saling lapor pada masyarakat hari ini. Prinsip “ultimum remedium” atau last resort principle yang merujuk pada penggunaan tindakan hukuman pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir yang diambil setelah semua alternatif lain telah dipertimbangkan dan diujicoba tidak lagi dipertimbangkan. “Kita ini tinggal tunggu waktu, bahkan untuk seorang pengacara yang punya hak imunitas juga dipidanakan dalam kasus Dirut Taspen dan Pengacara Brigadir J. Kita harus terlibat, kalau ngga kita akan dihajar pada waktunya nanti,” pesan Nasrul.

 

Yang Patah Tumbuh, Yang Karet Direvisi

Revisi UU ITE memang bukan barang baru lagi. Disahkan dalam UU No. 11 Tahun 2008, delapan tahun berselarang regulasi tersebut direvisi menjadi UU No. 19 Tahun 2016. Dipertahankannya pasal-pasal karet dalam UU ITE tentu menjadi masalah hingga narasi revisi kembali mencuat usai menengok maraknya kriminalisasi menggunakan UU ini. Pasal-pasal karet yang seringkali digunakan untuk menjerat pidana umumnya adalah Pasal 28, 29, dan 45. Pasal-pasal ini dianggap karet karena dianggap mengandung ambiguitas yang terkadung di dalamnya sehingga kerap kali dipelintir untuk memenangkan ego individual. Namun, pada revisi yang kini tengah berjalan, pasal-pasal karet tersebut masih dipertahankan.

Emmy Lathifah, akademisi FH UNS, pada kesempatan yang sama menjelaskan muatan pasal-pasal bermasalah yang masih dipertahankan. Ketentuan pasal 27 Ayat 1 mengenai kesusilaan seharusnya masuk ke UU TPKS saja yang dianggap lebih gender responsive. Pasal 27 Ayat 3 mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal inilah yang dianggap melanggar kebebasan berekspresi. Sebelumnya Pasal 27 Ayat (3) sudah sepuluh kali di-judicial review, tapi selalu gagal. “Frasa ‘menyerang kehormatan dan nama baik seseorang’ bisa diartikan dengan mengkritik sehingga diartikan tidak boleh mengkritik. Lantas bagaimana dengan kritik yang membangun? Pasal karet ini menyebabkannya menjadi multi tafsir dan bergantung pada kepentingan siapa yang akan menggunakannya,” ujar Lathifah.

Frasa “setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan  untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan…” dalam Pasal 28 Ayat 2 dianggap sangat subjektif. “Kita perlu indikator yang jelas untuk frasa ’menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan’. Di situ tidak jelaskan kebencian karena apa? Seharusnya ada akibat yang terukur dari permusuhan yang muncul, merusak reputasi misalnya,” ucap Lathifah.

Pasal bermasalah lain terdapat pada Pasal 45A ayat (1) yang berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.” Alih-alih melindungi konsumen, pasal ini justru membebankan pembuktian pada konsumen itu sendiri. “Padahal kalau terkait jual beli, pidana seharusnya menjadi pilihan yang terakhir. Kalau ada aksi yang merugikan konsumen, bisa sampai ganti kerugian atau wanprestasi,” ujar Lathifah.

Damar Juniarto, Executive Director dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sekaligus penjamin penangguhan penahanan Iss dalam dalam kasus UU ITE yang menjeratnya, menjelaskan bahwa internet berbeda secara teknologi karena terdiri dari beberapa lapisan; lapisan infrastruktur, lapisan operating system, lapisan aplikasi, dan lapisan konten. Damar berpendapat bahwa hukum harusnya menghormati arsitektur internet tersebut. Menurutnya, tiap lapisan konten tersebut seyogyanya memiliki koridor hukumnya masing-masing. “Kalau kita baca UU ITE, ini kan undang-undang sapu jagad, bahkan tindak pidana juga diatur dalam peraturan ini sehingga perlu lekas-lekas diperbaiki,” ujarnya.

Lebih lanjut, Damar menceritakan bagaimana “mencari ketidakadilan” begitu mudah di antara celah UU ITE. Ia berkaca pada kasus Baiq Nuril yang dipidanakan karena merekam percakapan mesum dan Saiful Mahdi yang diadukan atas tuduhan pencemaran nama baik, ketika proses hukum selesai, diputus bersalah, dan diberikan amnesti. Ketimpangan relasi kuasa juga memainkan peranan yang besar karena korban UU ITE kerap kali dilaporkan orang yang memiliki status sosial lebih tinggi. Dalam kasus Baiq Nuril, ia dilaporkan oleh pelaku pelecehan seksual sekaligus atasan kerjanya, sedangkan Saiful Mahdi dilaporkan oleh dekan di fakultas tempatnya bekerja di Unsyiah Kuala.

#SemuaBisaKena adalah kampanye yang digagas oleh SAFEnet Indonesia untuk meningkatkan kesadaran tentang perlunya perlindungan privasi dan keamanan data di dunia digital. Kampanye ini mengajak masyarakat untuk menyadari bahwa siapa pun, tanpa terkecuali, dapat menjadi korban pelanggaran privasi dan penyebaran data pribadi secara ilegal di internet. Tujuannya adalah untuk mengedukasi dan memberikan pemahaman tentang risiko online serta cara melindungi diri dari ancaman digital tak terkecuali yang didukung oleh piranti hukum UU ITE. “Data SAFEnet menunjukkan bahwa dalam rentang 2013 – 2022, terdapat 500 laporan yang masuk terkait pelanggaran UU ITE. Tetapi kalau kita lihat putusan MA, 5000 lebih kasus terkait UU ITE dan 3000 di antaranya terkait dengan pasal-pasal bermasalah seperti Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28,” papar Danar.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, mengeklaim bahwa dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan menghapus pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang terdapat di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun menurut Damar, hal tersebut masih belum cukup karena masih saja menyisakan pasal-pasal bermasalah di dalamnya, misalnya pasal keonaran dan laporan bohong yang masih dipertahankan dan mengancam kebebasan pers. “Kalau sudah dicap hoax, ada ruang untuk diseret pidana selama sepuluh tahun itu,” ungkap Damar.

Damar juga melihat, pengesahan Revisi UU ITE yang kerjar tayang dan minim partisipasi publik ini, memiliki maksud yang terselubung. “Kabarnya Oktober keluar kan revisi itu. Nah, ini buru-buru disahkan karena mengejar momentum kampanye. Jadi, nanti kita akan berhadapan dengan pasal karet versi lama dan pasal baru. Untuk itu, bantu SAFEnet untuk mendorong revisi total UU ITE sembari membangun sistem gerak cepat apabila hal tersebut terjadi,” ia mewanti.

 

Reporter          : Elsa Lailatul Marfu’ah

Penulis             : Elsa Lailatul Marfu’ah

Editor              :  Aqila Ahya Mumtaza A.vv

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.