Siang itu, Bu Tin disibukkan dengan beberapa pelanggannya yang sedang antri membeli es teh. Terik matahari tidak mengurangi semangatnya dalam melayani mereka. Perempuan berambut panjang yang diikat satu tersebut menyiapkan lapaknya sekitar pukul 08.00 dan tutup pada pukul 21.00 WIB. Sembari membuatkan dua buah es teh pesanan kami, Ibu Tin menceritakan bagaimana ia berjualan selama lebih dari tujuh tahun untuk menyambung hidupnya.
Di tengah ceritanya, perempuan paruh baya itu menceritakan keberadaan tukang parkir di tempat ia berjualan yang meresahkan pembeli. Dalam kisahnya ia menuturkan bahwa tukang parkir tersebut membuat pembeli mereka merasa kurang nyaman dikarenakan harus mengeluarkan uang lebih untuk sekadar memarkirkan kendaraan mereka.
“Kan podo mboten purun diparkiri, ibarat jajan cuma dua ribu terus parkir dua ribu kan tetep podo gak gelem,” terangnya dengan menggebu.
Hal serupa juga dialami pemilik lapak di samping Ibu Tin, Ibu penjual bubble. Ibu paruh baya dengan balutan jilbab berwarna merah jambu itu mengemukakan bahwa semenjak adanya tukang parkir itu mengakibatkan pembelinya mengalami penurunan, tentu saja hal ini sangat memengaruhi omzet yang ia dapatkan. Ibu Tin dan Ibu penjual bubble hanyalah dua dari sekian banyak pedagang lain yang tergabung dalam Ikatan Pedagang IAIN Surakarta (IPI) yang resah akan permasalahan tersebut.
Keberadaan tukang parkir tentu menuai protes dari para pedagang karena dianggap sebagai penyebab penurunan daya tarik barang dagangan mereka. Lantas, hal itu menginisiasi Alm. Bapak Hartono untuk memprakarsai berdirinya paguyuban ini pada tanggal 9 Agustus 2019, dan kemudian terpilihlah bapak Yudi Hardiyanto sebagai ketua paguyuban IPI hingga saat ini.
Adanya paguyuban tersebut memberikan wadah musyawarah secara kekeluargaan dari kedua belah pihak (IPI dengan tukang parkir). Kesepakatan dari hasil musyawarah itu, tukang parkir tidak diperkenankan untuk berada di sana. Pedagang kembali berjualan dengan normal seperti sedia kala. Para pembelipun merasa nyaman kembali untuk membeli jajanan di depan kampus tanpa mengeluh bayar parkir.
Tak berhenti sampai di situ saja, IPI juga memiliki agenda pertemuan rutin selama sebulan sekali. Pada setiap pertemuan anggota membayar kas wajib sebesar sepuluh ribu. Kas tersebut dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi dan menjenguk anggota yang mengalami musibah. Pak Nur selaku bendahara paguyuban, berharap dengan adanya paguyuban ini dapat menjadi wadah antar pedagang dalam berkoordinasi, mempererat persaudaraan dan mencari solusi bersama apabila timbul suatu permasalahan di kemudian hari.
“Ada grupnya juga, Mba, dan tiap-tiap anggota pun juga memiliki kartu anggota sebagai bukti keikutsertaannya,” terang Pak Nur dengan antusias sembari menunjukkan grup Whatsapp di gawainya. Bendahara paguyuban itu menjelaskan bahwa paguyuban tersebut memiliki anggota sebanyak 44 partisipan, dimana anggotanya sebagian besar terdiri dari pedagang kaki lima dan juga kios-kios kecil yang bertempat tinggal di sekitar kampus IAIN Surakarta.
Berselang waktu satu setengah tahun kemudian, permasalahan kembali dirasakan oleh pedagang pada awal tahun 2021. Pedagang yang termasuk dalam IPI mengaku bahwa mereka terusik dengan keberadaan pengemis dan pengamen yang sering datang ke lapak mereka. Melalui permasalahan tersebut, paguyuban mengadakan musyawarah untuk mencari titik terangnya.
Hasil dari musyawarah tersebut mereka sepakat untuk menempelkan sticker yang bertuliskan ’Maaf Tidak Melayani Pengamen dan Pengemis’ yang ditempelkan pada tiap lapak para pedagang anggota IPI. Solusi ini berhasil mengurangi pengemen atau pengemis yang datang ke lapak mereka. Hadirnya paguyuban ini mendapat respons positif dari para pedagang.
Senada dengan pendapat Pak Nur, Bu Tin merasakan dampak positif seperti mendapatkan wadah untuk saling berkomunikasi dan bertukar cerita, apalagi masa pagebluk yang kian mencekik perputaran ekonomi mereka. mereka membutuhkan bantuan sosial yang diprogram oleh pemerintah sekadar untuk menyambung hidup atau memenuhi kebutuhan sekolah anak.
”Saat pandemi gini ya turun penghasilanya, pasti itu Mas.” keluh Ibu Tin.
Pemerintah Desa Pucangan menanggapi bahwa para pedagang atau UMKM yang ingin menerima bantuan bisa mendaftarkan diri melalui daring atau datang langsung ke kantor Dinas Sosial. Untuk besaran bantuan yang didapat oleh masyarakat dan pedagang bervariasi, melihat dari mana lembaga yang mengeluarkan bantuan itu.
“Kalau dari Kementerian pusat itu BST namanya, itu uang tunai sebesar Rp. 300.000. Kemudian dari BLT DD itu bersumber dari dana desa, Rp. 300.000 per KPS. Terus, BPMT itu dia 200.000, tapi tidak dibentukkan uang berbentuk barang seperti beras, telur, sama kacang jadi karbohidrat dan protein ya,” jelas Devi, seorang perangkat desa yang kami temui hari itu.
Sesuai dengan peraturan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia nomor 6 tahun 2020, pasal 6 tentang pengusul Bantuan Bagi Pelaku Usaha Mikro (BPUM) menyebutkan bahwa persyaratan mendapatkan bantuan modal sebesar Rp 2.400.000 itu haruslah calon yang sudah diusulkan oleh pengusul BPUM. Sedangkan pengusul BPUM yang dimaksud adalah lembaga atau koperasi yang telah berbadan hukum.
“Pihak paguyuban pernah mengusahakan untuk mendapatkan bantuan UMKM ke anggota yg berminat, berhubung ada syarat dan ketentuan yg harus dipenuhi dan harus online, jadi anggota paguyuban secara pribadi mengajukan sendiri-sendiri. Ada yg dapat dan ada yang tidak,” papar Pak Yudi, selaku ketua paguyuban. Untuk mendapatkan bantuan tersebut tidaklah mudah, mereka harus melewati panjangnya birokrasi, tujuannya agar bantuan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat PPKM ini bisa tepat sasaran dan tepat guna.
Reporter : Aqila Ahya, Lisyaa P. Nuri S, Umi Afifah
Editor : Alfida
Redpel : Nurul F