Menuangkan air tentunya harus tepat pada wadah yang kosong atau yang kekurangan air, bukan? Atau menyiram tanaman, pastilah air harus disiramkan pada tanaman yang kekeringan atau yang membutuhkan air. Jika tidak pastilah akan terjadi salah penuangan atau penyiraman, maksudnya salah alokasi penyiraman atau penuangan yang akan berimplikasi tidak saja negatif, tetapi juga over-negative. Apakah ini berlebihan? Saya rasa tidak.
Kalau memang hendak menuangkan atau menyiramkan air, ketepatan penglihatan sesuatu mana yang harus disiram itu harus “mutlak” diterapkan. Agar tidak terjadi dislokasi-posisi penyiraman, yang akhirnya membuat tanaman akhirnya prematur petumbuhannya, bahkan berakhir “kematian”.
Kali ini, saya bukan sedang membuat berita. Namun saya ingin beropini sebagai Mahasiswa yang merasakan kecemburuan sosial atas dampak dari bantuan para donatur.
Adapun bantuan, baik logistik, sosial, serta moril tidak salah kiranya menerapkan analogi “ilmu” penyiraman dan penuangan itu. Belum tentu tanaman yang secara fisik nampak kecil itu kurang air atau membutuhkan banyak air. Belum tentu juga tanaman yang oleh mata tampak besar, sudah kebanyakan air atau sudah tidak membutuhkan air. Maka, belum tentu juga ia yang secara data fisik berada di posisi bawah garis, memerlukan bantuan. Dan bukan berarti yang berada di atas garis, tidak memerlukan bantuan.
Kalau kedoknya adalah untuk peduli terhadap dampak sebuah keadaan —dalam hal ini wabah. Seharusnya bantuan dialokasikan dengan pertimbangan sejauh mana pihak yang sangat besar akibat yang ditimpanya dari dampak mewabahnya sebuah penyakit (virus). Tentunya dengan kelengkapan serta ketepatan mata pandang, sudut pandang, sisi pandang, keseluruhan perspektif dalam memilih pihak yang memang benar-benar pantas mendapatkan bantuan. Kalau pemilihan pihak yang dijadikan sasaran alokasi bantuan tidak dipilih secara tepat sebagai bantuan adanya dampak sebuah kasus, akibatnya bukan hanya tidak tepat sasaran. Tetapi juga menuntut adanya kemungkinan sebuah kecemburuan sosial atau apapun sebagai akibat buruk langsung dari kesalahan penyiraman dan penuangan “dana” bantuan.
Apalagi sudah diambil paling kecil dan paling riskan keadaan ekonominya, tetapi masih dibatasi. Jadinya, ini berniat membantu atau hanya sekadar ingin dilihat berkontribusi? Sejauh yang saya pahami, alokasi bantuan seharusnya adalah untuk menyelesaikan sebuah permasalahan —terutama ekonomi. Bukan cuma sekadar memperlihatkan diri seakan peduli, tetapi malah berujung ke munculnya permasalahan baru.
Menjamin tepat sasarankah, jika sebuah bantuan dengan embel-embel sebagai bagian dari peduli dampak virus diberlangsungkan dengan hanya melihat mereka yang secara data adalah terkecil, sedangkan yang lebih sedikit di atasnya atau paling atas tidak mendapatkan jatah bantuan. Bagaimana jika ternyata yang paling berdampak adalah pihak yang paling atas secara data ekonomi? Jadi, jangan menyalahkan siapa-siapa jika pada akhirnya muncul sikap atau adanya kecemburuan sosial sebagai implikasi kesalahan alokasi bantuan itu.
Apalagi apabila ada kesaksian awal sebagai jawaban dari pihak instansi melaui wakilnya atas pengajuan banding keringanan pada saat pendaftaran, dikatakan bahwa bagi tanggungan dengan data biaya terkecil memiliki peluang sedikit atau bahkan nyaris tidak mendapatkan bantuan apapun sebagai konsekuensi logis biaya administrasi atau tanggungan semesteran. Mengapa di kemudian hari menjadi lain, dan bahkan dikhianati sendiri? Atau jangan-jangan perkataan itu hanyalah pamrih dari ketamakan instnasi terhadap dana warganya. Artinya itu hanya sebuah model fetakompli agar warganya mau memantapkan hati guna mengeluarkan uangnya.
Apalagi sebuah dana bantuan yang terkumpul adalah dari inisiatif sumbangan, misalnya, yang secara logika orang awam sah untuk diberikan kepada siapa saja, tidak memandang status apalagi data-data yang kerap kali tidak sesuai. Jadi harusnya dana yang terkumpul untuk mereka-mereka, yakni pihak yang benar-benar terdampak dengan pertimbangan dan penyelidikan matang siapa saja yang memang memerlukan bantuan. Kalau yang secara data ekonomi mereka mampu, tetapi ia sangat terdampak secara ekonomi, sehingga membuatnya keteteran dalam memenuhi kebutuhan. Bukannya malah justru itulah yang wajib mendapatkan bantuan. Ketimbang orang yang secara ekonomi rendah, tapi terdampak tidak lebih dari setengah persennya.
Juga kalau misalnya, adanya bantuan, seperti yang saya katakan tadi, hanya sebatas biar seakan-akan dinilai berkontribusi. Dengan kata lain, untuk —mohon maaf— riya’ ataupun pamrih. Kenapa tidak sekaligus saja seluruh pihak yang secara de facto merupakan warga dari instansi yang bersangkutan diberikan cipratan bantuan.
Atau memang ini adalah langkah awal dan pertama sebagai bentuk kepedulian atas dampak yang disebabkan oleh adanya virus itu, sehingga memungkinkan ada formulasi bantuan lagi di kemudian hari sebagai tindak lanjut atau langkah selanjutnya yang akan diberlangsungkan, diterapkan dan direalisasikan.
Tetapi apakah benar demikian, dan dirasa tidak naif?
Lalu kapan keputusan itu akan diputuskan, dan berapa lama lagi waktu yang digunakan untuk mengkaji, mengkaji dan mengkaji. Serta berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk menunggu hasil putusannya. Melihat waktu yang sudah seakan sampai ujungnya, untuk mengeluarkan biaya tanggunan semester periode berikutnya.
Saya sangat berharap ini tidak menjadi sebuah gugatan, ataupun sebagai ujaran kebencian —meskipun tetap penilaian sepenuhnya saya serahkan kepada Anda semua. Tetapi yang ingin saya sampaikan adalah sebuah ketepatan alokasi dan keadilan distribusi sebagai bentuk kepedulian terhadap mewabahnya dampak Covid-19 yang telah meluber kemana-mana ini, supaya tepat sasaran dan tidak terjadi ketimpangan baik bagi kondisi psikologi warganya serta tentunya keadaan ekonominya.
Saya mengerti tidak ada bantuan yang sia-sia nilainya, bahkan pahalanya serta dampak morilnya. Tetapi ketepatan dalam alokasi dan pendistribusian, saya kira sangat menjadi pertimbang utama agar benar-benar adanya bantuan dapat meringankan beban dan memang membantu bagi mereka yang terdampak.
Penulis: Rekan Locus