“Mas..mas..mas..ayo tangi,mas uwis subuh,gage tangi gek wudhu aku meh ndang adzan ki” dengan penuh kesabaran bapak-bapak paruh baya ini membangunkanku dari tidurku.
Aku menggeliat sebentar sebelum kumantapkan diriku bangun dari sleeping–bag, namun bukannya segera beranjak aku malah melamun.
“mas-mas eh malah domblong, kae lho ndang wudhu nang kono ngko rak langsung seger” bapak-bapak itu kembali menegurku.
Seketika diriku tersadar dan mulai melangkah mencari tempat wudhu, tapi sebelum itu kupindai dulu lokasinya, alamak jauh kali wudhunya, nak tayamum aja lah tak kuase aku. Keluhku dalam hati.
Aku tetap melangkahkan kakiku meski kesadaranku belum penuh, akhirnya aku sampai ke tempat wudhu yang dimaksud. Lagi-lagi diriku hanya terpaku dan membeku melihat keran air disana, lalu membayangkan dinginya air keran itu. Dua hingga lima menit kuhabiskan tuk memelototi kran tersebut, tiba-tiba…….
*Byuurrrrrr*
Seciduk air melayang tepat mengenai kepala dan hampir setengah badanku. Dinginnya bukan main. Bapak-bapak tadi sengaja menyiramiku tanpa merasa bersalah sekalipun.
“Mas sadar mas Astagfirullah iling mbi Gusti Allah.”
“Pak njenengan niku enten masalah napa kalih kulo?” Ucapku penuh dengan penekanan.
“Wahh…Alhamdulillah wis sadar, tak kiro sampean kesurupan, mas soal e mau guya-guyu dewe ra jelas”
Aku mengelus dadaku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Dalam hati aku mengucap, sabar le sabar.
“Duh pak mboten kulo tesih ngumpulke nyowo niki, nggih pun kulo ajeng adus sisan.”
Beragam ritual keagamaan dimasjid itu kulewati satu persatu hingga sang fajar menyingsing. Fajar selalu punya cara untuk menarik perhatianku, dia indah di pelupuk mata meski tanganku tak mampu menggenggam. Ia selalu menjadi candu, sampai aku tak kuasa menahan senyum ketika melihatnya.
Selain ritual keagamaan aku juga berolahraga di pagi hari. Yaps tidak seperti kebanyakan orang aku lebih suka membiasakan hidup sehat daripada menikmati pagi dengan memulai perseteruan antara asam lambung dan kafein.
Aku beristirahat sebentar di buk jalan sembari minum air minum kesukaanku. Kumulai me-rewind seluruh kejadian pagi ini lalu ku compare dengan pagi biasanya. Jujur saja pagi ini cukup absurd bagiku, pagi hariku yang normal, sering kuhabiskan dengan selimut hangat diranjang dan omelan orang tuaku yang terus mengingatkanku tentang sholat berganti dengan seluruh kejadian absurd tadi. Wajar saja sih semua ini juga sudah kuperhitungkan sejak keberangkatanku kemarin siang.
Kemarin, 20 Oktober kala mentari terik-teriknya aku memutuskan pergi jauh tanpa memberitahu orang tuaku sama sekali. Aku ingin mencari ketenangan menggunakan seluruh tabunganku, mungkin terdengar asyik namun kenyataanya ada banyak resiko yang dihadapi dan ini lebih mirip kabur dari rumah dari pada disebut dengan long trip. Mau bagaimana lagi, aku sudah muak sekali, sangat muak dengan semua yang kulewati selama ini. Aku hanya ingin waktu sendiri, sejenak untuk sekadar menikmati hidupku sendiri tanpa paksaan, tuntutan, kekecewaan, kemarahan, ketakutan, bayang-bayang, dan rasa bersalah. Begitulah pikiranku saat itu, dan sampailah aku disini, di sebuah desa kecil dekat lereng Gunung Lawu. Perjalanan yang lama untuk sekadar melewati Gunung Lawu. Ya bodo amatlah, toh tidak dikejar waktu juga, enjoy aja, tujuanya juga untuk menyenangkan diri sendiri.
Aku kembali ke masjid untuk membersihkan diriku yang penuh dengan peluh. Selesai mandi aku akan berangkat menuntaskan misiku di sini, namun belum sempat aku keluar suara bapak-bapak memanggilku.
“Mas, kesel to bar lari, wis ayo rene melok sarapan” teriak bapak itu. Dengan semangat kuterima tawaran menggiurkan itu.
“Oh nggih pak, sekedap”
Akupun lekas membaur dengan bapak-bapak jemaah masjid disana, muncul senyum gembira dalam wajahku saat menerima secangkir teh hangat dan sebungkus nasi yang entah apa menunya. Dengan penuh harap kubuka nasi bungkus tersebut. Wala…. kudapati sebuah nasi urap komplit dengan sayur urap, sedikit potongan daging ayam, setengah butir telur rebus, plus mendoan hangat dan teh hangat kental nan manis.
Sembari kami nikmati makan mewah ini, kami berbincang tentang banyak hal dari pengalaman lucu yang pernah tertipu penginapan esek-esek, pekerjaan yang kebetulan sama dengan apa yang kulakukan selama ini yaitu bertani & berternak, keluarga mereka, hobby, dan tak lupa nasehat terselip dalam obrolan kami. Uhh…sungguh nikmatnya pagi ini, benar-benar awal yang indah bagiku, sudah dapat sarapan, kenalan, wawasan, serta sambutan yang ramah pula dari warga sekitar. Inginku menetap lebih lama, tapi aku sadar itu bukan tujuanku.
Setelah selesai berkemas aku menghampiri motorku, untuk memastikan apakah ready to go or not ? maklum motor tua dan juga mengingat jarak tempuh yang pasti akan sangat jauh tidaklah berlebihan untuk melakukan itu. Puas dengan itu kuputuskan untuk berpamitan dengan bapak-bapak tadi sekaligus berterima kasih atas jamuan yang ramah pagi ini.
Tak kusangka hanya beberapa jam kenal, mereka memperlakukanku seramah ini tanpa mempertimbangkan siapakah aku sebenarnya. Sungguh suatu hal yang tidak bisa kita temukan disosial media saat ini.
Perjalanan pun kulanjutkan, entah sudah berapa kilometer kutempuh, tapi aku belum menentukan tujuan dan aku terus berjalan menuju timur. Mengesampingkan semua yang telah ku lalui selama ini entah kenapa timur selalu memiliki tempat dihatiku.
Selama perjalanan kuhabiskan dengan menikmati pemandangan sembari mendengarkan musik kesukaanku. Bak terhipnotis, mulutku tak henti-hentinya bernyanyi dan tanpa kusadari badanku juga ikut bergoyang mengikuti irama walaupun aku tahu orang-orang akan menatapku aneh. Tidak apa-apa, itu hal biasa bagiku. Aneh bukan?
Kuakui itu, jujur saja tidak ada yang jelas dalam diriku. Semua yang telah kubangun selama ini hancur sejak saat itu. Suatu hal yang indah sekaligus suatu hal yang paling ingin aku lupakan. Anehnya pikiranku tidak pernah lelah memutar memori saat itu, walaupun sekeras apapun usahaku untuk melupakanya. Sudah hampir setahun aku dihantui pikiran itu baik sibuk dengan kegiatan ataupun sedang gabut sendirian, bayangan itu terus saja muncul dan hampir membuatku gila.
Tanpa menghiraukan sekitar, kuluapkan semua itu sekarang, kumulai tertawa, menangis, berteriak, tertawa lagi, menangis lagi, dan teriak lagi. Gambaran kenangan itu terus muncul seiring kubuka kembali kran ingatanku. Seiring waktu, pikiranku mulai memproyeksikan satu persatu kejadian itu mulai dari perkenalan kami berdua.
Aku dan Dia ialah dua individu yang saling bertolak belakang, yang mencoba bersatu menjalin suatu hubungan istimewa. Tak pernah terbesit sekalipun dalam pikiranku memulai hubungan denganya, bahkan keberadaannya saja baru kusadari pada semester 1 akhir. Aneh sekaligus lucu, orang yang tak pernah terbesit dalam pikiran tiba-tiba masuk dan singgah dihatiku. Tidak ada yang istimewa diantara kami berdua, kami hanyalah teman biasa yang tidak begitu akrab satu sama lain, hanya bicara dan mengobrol seperlunya saja. Namun terkadang dia memulai pembicaraan seperti mengomentari story WhatsApp meskipun tak jarang aku hanya mengabaikannya bukan bermaksud jual mahal tapi begitulah diriku yang pasif ini.
Tiba suatu saat dimana aku iseng dan mulai meresponya. Seperti perkiraan, dia terlihat senang sekali. Hari demi hari kami habiskan untuk mengobrol baik via chat ataupun real time. Bahkan dia juga menggodaku yang jujur saja membuatku sedikit hype. Awalnya terbesit pikiran untuk sekadar mempermainkanya, mungkin terdengar sedikit jahat tapi begitulah diriku yang dulu.
Ketika kami mulai asyik satu sama lain, dari yang hanya sekedar chatingan, kini mulai telfonan, dari yang hanya manggil nama kini mulai sayang-sayangan. Hampir tiap hari kami habiskan bersama bahkan teman-temanku mengejekku dengan kata-kata ”tiada hari tanpa telfonan bebeb MelMel”. Aku hanya tersenyum mendengar hal itu, karena sesungguhnya aku menikmati moment itu. Hari terus berlanjut begitu pula dengan hubungan kami, walau belum ada kejelasan kami begitu bahagia satu sama lain hangout, nonton film, shopping, hingga dipuncaknya kami liburan ke pantai bersama.
Spontanitas yang tidak pernah kurencanakan berubah menjadi salah satu moment terindah dalam hubungan kami yang tidak akan pernah terlupakan sampai kapanpun. Banyak yang telah terjadi saat itu, yang merupakan suatu hal yang biasa saja namun terasa sangat menyenangkan bagiku. Saat dimana dia menenangkanku ketika marah karena kecerobohan teman kami. Sembari memelukku dia berkata “sabar..uwis to nesune aku nggak seneng weruh kowe nesu” kata-kata sederhana nan hangat itu seketika meluluhkan amarahku. Muncul senyuman bahagia dalam wajahku seperti pelangi yang muncul setelah hujan. Tiada pikiran jorok saat itu, hanya rasa nyaman dan tenang yang ada dalam hatiku. Sepanjang jalan kami habiskan dengan bercerita tentang hal-hal kecil yang entah kenapa bisa terasa begitu asyik. Seperti kenapa semakin tahun kapasitas botol coca cola semakin kecil, gajelas memang tapi dari kegajelasan itu hubungan kami menjadi semakin baik.
Malam pun tiba, dan kami semua baru tiba diparkiran tepat jam 8 malam padahal rencananya akan melihat sunset tapi tidak jadi. Kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki setelah mempertimbangkan kontur tanah yang sudah tidak bisa dilewati oleh motor lagi. Karena jalan hanya muat dua baris orang saja kami putuskan untuk membagi rombongan menjadi 5 barisan. Tepat sekali aku kebagian berjalan berdampingan dengannya antara senang dan aneh bukan maksud tidak suka dengan itu. Masalahnya, dibelakang kami ada dua orang teman kami yang terus mengawasi kami berdua dan itu canggung sekali.
Kesadaranku mulai kembali ketika aku merasakan keanehan pada motorku.
“hmm..sungguh eh loh loh loh kog tenogone ilang, wah modar mesti bensin e entek ki,wolha jancuk tiwasan mau ra mampir pom bensin apes-apes”
“Sik-sik ki keentekan bensin tenan po ono masalah liyo po piye”
“Hashh…check disik ae lah” gerutuku sembari celingak celinguk melihat kondisi motor.
Pertama-tama ku standard kan dulu motor bututku lalu kubuka pelan-pelan sembari berdoa dan berharap hanya kehabisan bensin saja, bukan masalah mesin. Dengan perasaan tak beraturan, dan keringat yang bercucuran, pelan-pelan kubuka tangki bensin dan WAAAAA!!!!! Kukageti tangki bensin itu. Yah dari pada aku yang harus kaget mending kukageti dulu dia begitu pikirku. Tepat sekali sudah tidak ada yang tersisa didalam tangki bensin tersebut. Brengsek!! masih tengah alas gini mana stock bensin dibox belum diisi juga ucapku dalam hati. Akupun duduk dibahu jalan sembari memakan beberapa bekal, aku berpikir bagaimana caranya keluar dari situasi ini. Melihat tiada siapapun disini, bahkan dari awal memasuki alas belum pernah kulihat pengendara lain menyalipku. Jangan-jangan aku masuk dunia lain, kalau beneran gimana, duh mana cuman hafal surat trikul lagi.
Aaarrrgggghhhhh….
Kepala serasa mau pecah, inginku tenang tapi disatu sisi aku juga butuh solusi. Bingung bukan main posisi tidak menguntungkan, tiada bantuan, telepon orang rumah nggak enak, ditambah perbekalan juga habis. Akupun duduk bersandar dipenghalang jalan, kutundukan kepalaku lalu menghela nafas barang kali bisa sedikit menenangkan pikiran.
Sepertinya pikiranku mulai berhasil tenang, tapi entah kenapa mataku terasa berat sekali. Inginku segera tidur untuk beberapa menit saja, tapi itu tidak mungkin mengingat semua yang terjadi sekarang ini, tidur tidak akan menyelesaikan apapun. Disaat aku sibuk melawan rasa kantukku terdengar samar-samar suara motor dari kejahuan.
Segera aku beranjak dari dudu, lalu berdiri dipinggir jalan meminta bantuan siapapun itu yang datang. Beruntungnya diriku, pengendara itu menyadariku dan berhenti dihadapanku lalu bertanya ada apa gerangan padaku. Aku menghela nafas lega, lalu kuutarakan semua kesusahannku. Mas-mas itu mengajakku untuk menuju pom terdekat yang jaraknya kurang lebih 10 km untuk membeli bensin. Dengan mempertimbangkan kontur jalan yang berkelok-kelok dan naik-turun, aku memutuskan untuk meninggalkan motorku disini dan membonceng mas-mas yang belum kuketahui namanya. Layaknya orang yang baru kenal, kami hanya membicarakan tentang pertanyaan-pertanyaan umum saja seperti nama, alamat, mau kemana, dan disitu diketahui mas itu bernama Udin, bujangan, umur 25 tahun yang bekerja sebagai pengantar paket yang berumah tinggal di Purbolinggo.
Setibanya di SPBU, aku segera mengisi botol air mineral bekas pakai yang sengaja kusimpan untuk persediaan. Dua botol telah terisi, kami bergegas kembali lagi ke lokasi. 20 km kami arungi hanya untuk membeli bensin. Ribet? Memang ribet sekali tapi mau bagaimana lagi keadaan sudah memaksa. Motor sudah terisi, mesin dapat dihidupkan, permasalahan sudah berakhir, giliran kami melanjutkan perjalanan. Sebelum itu aku mencoba mengajak mas Udin untuk makan dan ngobrol sebentar di warung makan, ya itung-itung sebagai ucapan terima kasih.
Tepat di jarak 2 km dari SPBU kami temukan warung makan sederhana ditepi jalan, tak begitu bagus dan tak begitu jelek, “pas” begitulah yang dibayanganku. Karena masnya nurut, kami pun pesan menu yang sama, sembari menunggu pesanan kami ngobrol kembali. Bak petir disiang bolong mas Udin bertanya.
“Mas, sorry ya, wiki lungo ra persiapan ngasi bensin isoh entek mogok nang tengah alas ki kowe ki kesusu kowe minggat o? Ono masalah apa?”
JEGGEEERRRR!!!!!!! Diriku kaget bukan kepalang bingung pikiranku terus bertanya-tanya kenapa orang ini bisa tahu. Dalam diam aku terus berpikir bagaimana aku akan menjawabnya, sedangkan dia diam menunggu jawabanku, tatapannya seakan berkata ayo, cepet ngaku. Karena tekanan yang begitu kuat, akhirnya aku memutuskan buka suara dengan pertimbangan apa salahnya cerita? Mungkin saja dia orang yang tepat untuk diajak cerita.
“Haahhh….bener, mas aku lagi akeh pikiran” dengan berat hati kujawab pertanyaanya
“Yowis ayo, ndang cerito.” seru mas Udin
“Dadi ngene mas, aku bar ambyar………“
Semilir angin menjadi pengiring ceritaku, mas Udin juga mendengarkan setiap incinya sehingga aku membiarkan ceritaku mengalir dari awal sampai akhir.
“Dadi piye mas? salahku kan, mas? Aku sing ra mawas sing ra moco keadaan, iyo kan?”
“Hmm…sorry ya, bukanne meh ngajari, tapi aku wis paham masalah iku, aku urip luwih suwe mbang kowe dan aku yo wis ngerasakne kabeh iku.”
“Tapi mas iku salahku, aku terlalu posistif thinking ngasi isoh dingunukne, goblok goblok goblok tenan aku.” kataku begitu menyesali perbuatanku.
“Uwis jo nyalahne awakmu dewe apa meneh nyalahne kono, nggak ada yang salah dengan jatuh cinta, semua berhak jatuh cinta kepada siapapun itu, kapanpun itu nggak ada yang salah karena semua pertemuan sudah ditakdirkan jika semua berakhir tidak sesuai keinginan, ya memang itulah akhirnya, dan semua itu bukanlah kebetulan, pasti ada hikmahnya.”
“Tapi tapi tapi.” potongku tidak terima.
“Sstt…hey nggak ada tapi, terima saja, begitulah jalannya, berdamailah dengan dirimu sendiri, dia adalah bagian dari hidupmu, terimalah dan perpisahan itu juga bagian dari itu, sudah ikhlaskan saja.” Jawab mas Udin dengan bijak sembari menenangkanku.
Aku terdiam tak bisa berkata-kata lagi, aku hanya bisa merenung menahan semua rasa ini yang tak mungkin kuluapkan disini. Aku beranjak dari tempat dudukku lalu pergi kembali melanjutkan perjalananku tanpa berkata sepatah kata pun. Kutinggalkan uang 100 ribu beserta sobekan kertas bertuliskan kata maaf dimejaku. Segera ku nyalakan motorku lalu pergi meninggalkan tempat itu entah apa yang kupikirkan saat itu aku hanya ingin segera pergi. Ku ingin kabur jauh dari semua masa laluku ingin kubuang semua itu. Semakin keras berlari semakin gencar pula ingatan itu muncul menghantui pikiranku bahkan sekarang ini. Kupacu motorku sekuat tenaga, entah sudah berapa kilometer ku lalui, kuhanya ingin terus berlari dari semua ini jauh dan lebih jauh lagi dari masa laluku.
Ingatan itu muncul lagi satu persatu bahkan semakin jelas hingga aku bisa merasakan kembali semuanya seperti saat dimana aku pergi kerumahnya, menghabiskan waktu berdua, duduk dipinggir danau mini dekat rumahnya, dia bersandar dipundakku sembari mengobrol dan berdebat tentang hal-hal tak penting. Indah sekali, tak terasa pipiku basah akan air mata, lalu muncul lagi ingatan saat ketakutanku menjadi nyata, dia memutuskanku dengan tak berperasaan tepat setelah kami keluar bersama. Menyakitkan sekali, hatiku seperti tercabik-cabik seakan tidak percaya, aku terus bertanya ini serius? Aku mimpi kan? Kamu bercanda kan? Ini tidak nyata kan? Dan semua itu terbantahkan saat dia menjawab “nggak, aku serius hubungan kita sampai disini saja. Mamah suruh aku pilih dia dari pada kamu”. Aku masih tidak terima, aku terus bertanya kenapa dan apa alasanya.
“Kenapa? Ada apa? Kenapa sekarang? Beritahu aku” aku menangis sejadi-jadinya
“Emm nggak bisa” jawabnya singkat
Seketika hatiku hancur berkeping-keping, aku tidak kuat lagi, aku hancur, semua harapan dan ekspektasiku runtuh saat itu juga. Aku tahu ini resiko yang akan terjadi jika aku memacari dirinya yang baru-baru ini kuketahui sudah memiliki pacar. Ini tidak adil, dia baru memberitahuku setelah kuungkapkan semua perasaanku padanya, dia membohongiku, tidak semua ini salahku kenapa aku membiarkannya masuk ke hatiku. Aku tahu ini salah, tapi paling tidak sudahlah mas, pergilah dari hubungan kami, kau sudah dibuang kenapa kau kembali lagi setelah kau hilang selama 2 tahun, kenapa? Kenapa kau kembali lagi dan mengganggu kami, padahal aku sudah baik hati menyuruh Melany memutuskanmu agar tidak semakin sakit jika suatu waktu kau lihat kami berduaan bersama. Aku sudah berbuat baik, paling tidak hargai itu, tapi kenapa kau menghancurkan semua ini?
Hingga tak sadar aku telah masuk wilayah hutan lagi dimana kutahu disana merupakan tempat yang begitu berbahaya dimalam hari. Semua itu ku hiraukan, aku sudah tidak takut dengan apapun lagi, aku hanya ingin kabur dari ini semua. Air mataku terus mengalir seiring semakin gencarnya ingatan itu muncul dikepalaku, tak jarang pula aku berteriak dengan harapan bisa meredakan rasa sakit ini, tapi semua itu percuma. It doesn’t change anything, it has done. Aku muak dengan semua ini, aku lelah, aku tidak kuat lagi, tolong biarkan aku bahagia. Emosiku memuncak, dan disitulah petaka sebenarnya dimulai, aku kehilangan kendali. Kupacu motorku dengan cepat pada jalan lurus, belokan, tanjakan, hingga turunan pun kutrabas. Nahas saat ditikungan ke empat rodaku kehilangan cengkraman, kucoba terus pegangi kendali namun semua sia-sia. Semua terjadi dengan cepat, aku hanya melihat motorku berputar-putar menghujam aspal, semua hancur berserakan hingga tak terbentuk. Sementara aku terjatuh, lalu terpelanting ke atas dan duaakkhhh!!!! badanku menabrak sebuah pohon besar. Seketika pandanganku mulai kabur, dan aku kehilangan kesadaran.
Semuanya menjadi hitam, apakah ini dunia kematian? Jika iya, ini menakutkan sekali, hanya ada kegelapan dan kesunyian. Aku takut sekali, aku belum siap, tidak, tolong jangan sekarang, masih banyak hal yang ingin kulakukan. Tuhan tolong selamatkanlah aku, Tuhan kumohon dengarkanlah permintaan hamba-Mu ini, selamatkanlah hidupku sekali lagi. Disaat keputusasaanku, kulihat cahaya putih menghampiri diriku dan entah kenapa muncul tangan seseorang yang kukenal. Tangan itu memegang tanganku, lalu menarikku keluar dari kegelapan. Silau sekali diluar sini, terlihat sebuah taman hijau dipenuhi pohon-pohon, bunga, dan kolam air mancur yang indah. Ditengah kekagumanku itu, diriku kembali teralihkan oleh sosok yang menarikku lagi yang entah kenapa sosok itu mirip sekali dengannya. Kupandangi wajahnya sembari memastikan apakah ini benar dia atau bukan.
“Mel? Ini beneran kamu atau bukan?” ucapku dengan lirih.
“Iya ini aku Mellany mu.” jawabnya sembari tersenyum hangat menatap wajahku.
Aku senang sekali, bagaimana tidak? orang yang selama ini kuharapkan kehadiranya kembali disisiku bersama denganku. Kami menghabiskan waktu berdua, rasanya bebas sekali, semua hal kami lakukan bersama berlari, bersantai, makan, dan memandangi awan bersama. Hangat sekali, nyaman sekali indah sekali perasaan yang telah lama hilang, ku dapatkan kembali. Namun ada satu hal yang mengganjal yang ingin kutanyakan sedari tadi.
“Mel..”
“Hmm?”
“Akankah ini bertahan selamanya?” tanyaku dengan cemas.
Dia hanya tersenyum lalu beranjak dari posisinya dan berkata.
“Maaf, tapi ini hanya sementara dan waktuku tinggal beberapa menit lagi.”
“Apa maksudmu, sayang? Bukankah ini yang kita inginkan?”
Dia menggeleng, “Maafkan aku, aku tidak bisa bersamamu lagi, kumohon jangan bersedih, tersenyumlah aku ingin melihatmu bahagia.” ucapnya dengan lembut.
Setelah itu kami pun berciuman hingga akhirnya semuanya menghilang.
“Huahhh hah hah hah hah hah.. nang endi iki? Ana apa iki? Kenopo akeh selang nang awakku? Kenopo kabeh do nang kene?” tanyaku dengan penuh keheranan.
Entah kenapa semuanya terlihat bahagia sekali, ibuku langsung menghampiri dan memelukku sembari menangis bahagia. Bapakku terlihat terharu mengawasi dari kejahuan sedangkan adikku terlihat kaget bukan main melihatku. Sebenarnya ada apa? Kenapa semua terlihat berlebihan? pikirku bingung dan masih mencerna situasi. Lalu tiba-tiba kepalaku sakit, dan aku ingat semuanya, semua yang kulalui selama ini. Aku menangis sejadi-jadinya, dan kupeluk tubuh ibukku dengan erat, persetan dengan rasa malu ini wujud rasa syukurku. Aku senang sekali, terimakasih Tuhan, Kau kabulkan permohonanku ini walaupun ku tahu aku tidak pernah tampak begitu dekat dengan-Mu terima kasih.
Dua minggu setelah masa pemulihan aku sudah diijinkan ikut kuliah seperti biasa lagi. Senang? jelas senang sekali, siapa yang tidak senang berkumpul dengan teman-teman kembali. Sudah satu bulan lebih aku tidak berkabar dengan mereka, sekalinya dapet kabar, aku kecelakaan. Kupikir mereka sudah bertemu denganku, tapi apa artinya bertemu dengan badan yang tak sadarkan diri. Kali ini berbeda, hari ini aku jamin mereka akan melihat the real diriku menyapa mereka.
Pukul 10.10 tepat 10 menit sebelum matkul, aku berdiri didepan pintu ruangan kelas, awalnya mereka tidak sadar hingga akhirnya aku menyapa mereka.
“ah ha hay.”
Seisi kelas tiba-tiba heboh, semua datang menghampiriku menanyakan keadaanku tak terkecuali dia. Suasana berubah berisik sekali beragam pertanyaan dan ejekan menghujaniku namun tak apa. Aku bahagia sekali, bahagia sekali tidak bisa kusembunyikan perasaan ini, aku menunduk terharu lalu dalam hati bertanya sebenarnya apa yang kucari selama ini jika disekelilingku lah kebahagiaan itu berada. Kuangkat wajahku kembali, aku tersenyum lalu berkata,
“Aku pulang.”