Sumber gambar:https://pin.it/4UQhZmKXP
Tahun 1604.
Pagi ini di desa tidak sedamai biasanya. Suasana terasa tegang, si Buyut yang setiap pagi berbagi teh hangat dalam teko, kini mendiamkannya hingga dingin. Penjual sayur yang biasanya asyik berteriak, “Sayur! Sayur, Bu!” Kini melangkah melewati desa dengan membisu, bahkan hingga anak-anak yang kerap kali berangkat sekolah sambil bernyanyi beriringan ikut membisu. Tidak lazimnya mereka semua diam seribu bahasa, berjalan lesu sampai menunduk. Apa gerangan yang sedang terjadi? Ternyata ada seseorang dengan senyum penuh tipuan yang tak diundang datang ke desa itu.
Dengan gaya congkaknya ia diiringi oleh pengawal yang bejibun, mulai dari gapura hingga rumah kepala desa. Ada apa ini? Batin seorang remaja yang mengamati sedari tadi. Pendatang itu adalah mafia berdarah keturunan yang sukses di negeri ini, mereka datang dari Belanda. Dia ingin mengambil setiap orang yang bisa diangkat menjadi pelayan di keluarga besarnya, membuat seluruh desa cemas bukan main.
Para ayah kini melupakan pekerjaan mereka, berpikir keras untuk menyelamatkan buah hatinya. Berbeda dengan remaja tersebut, disaat si bos mafia berunding dengan kepala desa, ia justru menyiapkan kain yang dililit di tangan sambil menggeram. Masih segar dalam ingatannya, sang kakak diambil mafia itu empat tahun yang lalu saat dia meninggalkannya untuk pergi kencing di sendang.
“Serahkan anak-anak usia remaja sekarang. Cepat! “ ucap bos mafia,
“Saya tidak bisa membiarkan Anda mengambil anak-anak kami lagi,” balas pak Rahmat sebagai Kepala Desa gusar. Raut wajahnya yang menua tak terlihat segarang dulu.
“Oh, baiklah.” Bos mafia mengangguk, tangannya memberi isyarat kepada para anak buahnya untuk mengubah desa menjadi abu.
Pemuda tanggung yang sedari tadi menggeram dengan tangan terlilit itu bernama Naya. Yatim piatu sejak kecil, diasuh oleh kakeknya yang sudah lanjut usia. Kakaknya berjarak 1 tahun dengannya. Kakak yang tak dapat lagi ia ajak bercanda karena diculik oleh mafia. Dengan perasaan murka ia berteriak, menerjang ke tengah kerumunan warga yang ketakutan siang itu.
“Kawan-kawan ku sekalian! Para Ayah yang terhormat! Kakak-kakak yang terhormat, serta kepala desa yang kami banggakan! Jangan risau! Bersatulah! Jangan takut dengan mereka yang berharta lalu berbuat semena-mena. Di sini kita adalah keluarga, jangan sampai satupun dari kita dapat diambil olehnya. Karena ini adalah bentuk peduli kita terhadap sesama!” ujar Naya berapi-api.
Seketika perasaan seluruh warga yang mayoritas muslim tersebut ikut menyala. Mereka serta-merta mengambil alat seadanya untuk melawan para mafia Belanda. Naya sang orator maju di garda terdepan melawan musuhnya yang bersenjatakan mesiu, sedangkan di tangannya hanyalah ketapel dengan lima buah batu. Entah bagaimana persisnya yang terjadi selanjutnya. Mereka bertarung di antara perbudakan dan kebebasan.
Naya menembakkan butir demi butir batu ke setiap sasaran yang bisa di raihnya. Tak lupa dia mengucapkan Asma Allah di setiap bidikannya. Di samping melawan musuh, ia terus memberi semangat kepada para rekan-rekannya untuk terus berjuang karena mereka berada di pihak yang benar. Peluru berpadu dengan mesiu melesat kencang menuju para warga yang tak gentar.
Sudah kesekian kalinya tubuh para warga ditembus oleh peluru. Bahkan wanita dan anak-anak banyak yang berguguran. Di saat kondisi yang serba sulit tersebut, Naya masih gigih menembakkan batunya ke arah musuh.
Duar! Duar! Pekikan peluru menyerang lengan kanan Naya. Satu lagi berada di pundak belakang Naya. Ia masih terus maju dengan sisa tenaganya lalu merampas pistol milik salah satu mafia. Pistol itu berhasil di tangannya.
Meski belum pernah belajar senjata, dia tidak peduli. Naya mulai mengangkat gagang pistolnya yang hanya tersisa satu peluru.
Cekrek. Naya berfokus pada satu orang, yaitu bos mafia tersebut. Jemarinya bersiap menarik ujung pelatuk. “Bismillah.”
Duar! Pistol Naya terpental sehabis memuntahkan pelurunya. Naya pun lunglai dan langsung tergeletak di tanah.
Naya membuka matanya, mengerjap-ngerjap. Tubuhnya penuh dengan balutan perban karena kehabisan darah yang sangat banyak.
‘’Kita berada di perkampungan Toroka, Naya,’’ Pak Rahmat tersenyum menatap Naya yang sudah siuman.
‘’Apa yang terjadi dengan bentrok kemarin?’’ ucap Naya sehabis meneguk air dari gelas.
‘’Banyak sekali korban dari pihak kita, Naya. Namun ketika kau berhasil menembak kepala pemimpin mereka, semuanya berbalik 180 derajat. Mereka lari pontang-panting sambil menggendong bosnya. Kita menang, Naya! Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa,’’ balas pak Rahmat dengan perasaan campur aduk antara haru dan sedih. Sedih karena jumlah warga yang menjadi korban sungguh tidak sedikit.
‘’Tapi ada satu hal yang sangat serius, pak. Kita harus segera bersiap!’’ Naya meraih ransel kulitnya di atas meja, lantas mengeluarkan kertas.
-Bersambung
Penulis: Ferdyansa
Editor: Abril